Jakarta, JNcom – Pencemaran udara merupakan persoalan serius yang dihadapi oleh kota-kota besar di seluruh dunia termasuk kota Jakarta dan sejumlah kota-kota lainnya di Indonesia. Tanpa disadari, penduduk kota yang udaranya tercemar tersebut telah menghirup udara kotor.
Mengutip data dari IQAir, Kota Jakarta menempati urutan ke-19 dengan AQI US 119 dengan konsentrasi 7,9 kali dari standar PM2,5 yang ditetapkan WHO, sebuah kondisi yang tidak sehat bagi kelompok sensitif. Tahun 2023, tercatat sekitar 13.000 kematian di Jakarta disebabkan oleh polusi udara dan menimbulkan kerugian sebesar $3,3 Milyar USD.
Dalam sebuah sesi diskusi publik bertema Sinergitas sektor Transportasi dan sektor Energi di kota Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia, yang diselenggarakan oleh Jaringan KBR dan YLKI, Kamis (16/11/2023), Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi menilai isu pencemaran udara di kota-kota besar khususnya, menjadi isu yang krusial dan kritikal yang semakin serius ke depannya jika tidak ada pengendalian dari hulu hingga hilir.
Menurutnya, komitmen Indonesia untuk mengusung kebijakan zero emision tidak bisa terwujud jika tidak ada upaya-upaya yang serius dan sistematis untuk mengatasinya baik dari sisi transportasi (hilir) maupun kebijakannya (hulu). Permasalahan ini harus tuntas karena sektor transportasi dan sektor energi tidak bisa dipisahkan.
“Akibat pencemaran udara bukan hanya menyebabkan penyakit ISPA tetapi penyakit-penyakit tidak menular lainnya yang dipicu oleh kualitas udara di Jakarta. Sebagai mana kita ketahui penyakit tidak menular cukup tinggi dan tertinggi di Indonesia. Kita berharap ada keseriusan dalam upaya mengatasi ini sehingga persoalan kualitas udara selesai,” ujar Tulus Abadi dalam
Penyebab Polusi
Direktu Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Sigit Reliantoro menjelaskan, berdasarkan studi yang dilakukan terdapat 44% emisi yang ada di Jakarta berasal dari transportasi. Selebihnya berasal dari sektor energi 31%, manufaktur 10%, perumahan 14% dan komersial 1%.
Bagi sektor transportasi, angka tersebut sangat realistis karena mobilitas warga Jakarta yang menggunakan kendaraan pribadi masih sangat tinggi. Kondisi ini yang berkontribusi paling signifikan dominannya gas buang di Jakarta sehingga mempengaruhi kualitas udara.
Menyoal fasilitas transportasi, Tulus Abadi berpendapat bahwa fasilitas yang dibangun di kota Jakarta belum mampu memigrasikan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan massal. Menurutnya, kehadiran angkutan massal di Jakarta yang cukup handal, seperti KRL, MRT, Trans Jakarta, dan LRT bukan hanya sekedar mencapai kenyamanan konsumen saja tetapi juga untuk mendorong perilaku konsumen yang menggunakan kendaraan pribadi untuk bermigrasi ke angkutan massal.
Sebagai penyumbang kedua yaitu sektor energi, lanjut Tulus, Jakarta yang dikepung oleh 17 PLTU besar di Jawa Barat dan Banten yang merupakan milik pemerintah dan swasta ternyata bukan hanya untuk kebutuhan listrik saja tetapi untuk kebutuhan industri dan bisnis.
“Pertanyaannya, apakah PLTU-PLTU tersebut sudah terverifikasi atau tidak. Jika tidak mengantongi sertifikat proper maka emisinya tentu akan sangat tinggi dan berkontribusi terhadap pencemaran. Kita meminta kepada pemerintah agar PLTU-PLTU yang nakal ini diberikan sanksi untuk tidak beroperasi dan ketika tidak patuh terhadap aturan bisa ditutup,” kata Tulus.
Menanggapi persoalan tersebut, General Manager PT PLN Indonesia Power PGU Suralaya, Irwan Edi Syahputra Lubis menjelaskan bahwa PLN telah memiliki beberapa kajian akademisi yang menunjukkan bahwa pencemaran yang terjadi di Jakarta akhir-akhir ini disebabkan oleh beberapa faktor terutama faktor cuaca dan meteorologi serta banyaknya sumber emisi yang muncul seiring dengan berkembangnya Kota Jakarta.
“Tentunya kami menyadari bahwa dari PLN punya tanggung jawab untuk memelihara lingkungan. Untuk itulah dalam proses produksi, kami selalu menerapkan teknologi untuk pengendalian pencemaran dan memiliki standar-standar lingkungan yang memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah,” jelas Irwan.
Beberapa teknologi tersebut, tambah Irwan, yang kami miliki dan implementasikan yaitu Electrostatic Precipitator (ESP) dan Low NOx Burner. Kedua teknologi ini terutama untuk mengendalikan particular. “Dari pantauan kami, sejak adanya pembangkit ini sampai sekarang kita juga melakukan pengukuran,” tambahnya.
PLN, kata Irwan, memiliki CEMS untuk mengukur dan memonitor emisi dari pembangkit ini secara online terhubung dan terintegrasi dengan sistem-sistem secara real time untuk memastikan bahwa proses produksi yang dilakukan di pembangkit-pembangkit milik PLN ini semuanya aman dan memenuhi aturan dibawah ambang batas.
“Soal pembangkit listrik di Indonesia Power ada 7 Pembangkit batubara dan gas yang sudah memiliki CEMS dan menerapkan standar baku mutu. Kita pastikan itu semua emisi yang dihasilkan dibawah standar,” imbuhnya.
Penghapusan BBM Kualitas Rendah
Ketua Komite Penghapusan Bahan Bakar Bertimbal (KBPP), Ahmad Safrudin mengklaim sudah mengusulkan agar BBM dengan kualitas rendah itu dihapus. Jenis premium, solar 48, pertalite dan Solar Dexlite dinilai perlu dihapus karena keempat bahan bakar tersebut tidak sesuai dengan teknologi kendaraan yang diadopsi di negara kita yaitu Euro 2.
“Intinya bahan bakar yang tidak sesuai, tidak perlu disediakan lagi dipasar karena banyak sekali masyarakat yang memilih kendaraan, mereka mengisi bahan bakar tidak sesuai. Hal ini tidak boleh terjadi karena selain merusak mesin kendaraan juga akan menghasilkan emisi,” tuturnya.
Dalam konteks ini, kata Ahmad, pemerintah terlalu lambat dalam melakukan penghapusan BBM yang kotor tersebut. Dari hasil kajian harga BBM di beberapa seperti Malaysia, Australia, dan Amerika Serikat, ternyata harga pokok BBM di Indonesia terlalu mahal. Malaysia misalnya, bisa memproduksi BBM standar Euro 4 dengan harga pokok BBM Rp.4.300/liter. Sementara di Indonesia memproduksi Pertalite yang notabene kendaraan standar Euro 1 itu harga pokoknya Rp.10 ribu. Makanya pemerintah memberikan subsidi terhadap Pertalite agar tetap bisa dijual dengan harga tadi.
“Jadi bayangkan BBM dengan standar Euro 4 tadi harga pokoknya Rp.4.300 sementara Pertalite hanya standar Euro 1 harga pokoknya Rp. 10 ribu, kan pasti ada manipulasi. Dalam konteks ini, kami sudah meminta kepada pemerintah untuk melakukan restrukturisasi harga BBM. Jika tidak, maka kita hanya akan menjadi tempat pembuangan BBM kotor saja. Dan perlu dicatat saat ini Indonesia dumping crown untuk BBM kotor karena negara lainnya sudah diatas standar Euro 4,” ungkapnya.
Berkaca dari keadaan tersebut, Ahmad menilai ada kepentingan oil trader untuk bisa memaksakan untuk memasukkan BBM kotor tadi ke Indonesia. Dalam konteks ini perlu adanya ketegasan dari pemerintah, jangan terlalu lembek untuk para trader yang merusak tatanan seperti ini. “Jadi kalau ingin kualitas udara baik, maka sumber bahan bakarnya juga harus bersih sampai ke hilir,” kata Ahmad.
Peliknya persoalan pencemaran udara di Indonesia, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Sigit Reliantoro menyatakan rasa optimisnya bahwa Jakarta bisa bersih dari Polusi Udara.
“Kita harus selalu optimis bahwa udara di Jakarta bisa menjadi bersih dan optimis bahwa apa yang kita lakukan bisa menuju kesana. Tetapi memang kita juga harus menyadari bahwa masalah lingkungan seperti lingkaran setan, artinya susah untuk diselesaikan karena masing-masing mempunyai kepentingan, banyak orang yang mau melakukan tetapi banyak juga orang yang tidak mau memelihara Yang diperlukan adalah kerja bersama,” pungkasnya. (Red/my)