Jakarta, JNcom – Pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang bergulir di Komisi III DPR RI pada Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024—2025 yang ditargetkan berlaku bersamaan dengan berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada tanggal 1 Januari 2026, menuai sorotan sejumlah pemerhati dan akademisi terkait dengan adanya kewenangan penyidikan.
Kewenangan penyidik yang terlalu besar tanpa diimbangi oleh mekanisme check and balances yang memadai, menjadi alasan yang untuk segera dilakukan revisi UU KUHAP. Sementara, kebijakan kewenangan penyidikan yang selama ini ada di kepolisian dinilai sudah tepat.
Ketua Kaukus Muda Indonesia (KMI), Edi Homaidi berpendapat bahwa pembagian kewenangan penyidikan kepada institusi lain bisa menimbulkan tumpang tindih aturan sehingga berpotensi menimbulkan konflik antar institusi. Menurutnya, kewenangan penyidikan di kepolisian sudah benar karena sesuai dengan tata kelola yang baik dalam penegakan hukum.
“Saya pikir kebijakan kewenangan penyidikan yang sudah ada pada kepolisian sudah tepat. Justru ketika kewenangan penyidikan tersebut diberikan juga kepada institusi lainnya dikhawatirkan akan menimbulkan konflik antar institusi,” ujar Edi dalam keterangannya kepada media, Sabtu (25/1/2025), di Jakarta.
Ia menambahkan, jika aturan yang tumpang tindih ini dibiarkan, maka selain bisa memicu konflik antar lembaga atau institusi juga akan berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pencari keadilan.
Edi berharap pihak-pihak yang terlibat dalam pembahasan RUU KUHAP di Komisi III DPR RI bisa mempertimbangkan alasan-alasan tersebut sehingga rencana pembagian kewenangan penyidikan kepada lembaga lain dibatalkan.
“Kondisi ini tentunya harus diantisipasi oleh Komisi III DPR. Oleh karena itu, Komisi III DPR harus membatalkan rencana pemberian kewenangan penyidikan kepada lembaga lain demi terciptanya suasana yang kondusif di negeri ini,” pungkasnya. (**)