Jakarta, JNcom- Polda Metro Jaya mengungkapkap modus baru peredaran obat tanpa izin edar yaitu menjual obat keras golongan G dan juga psikotropika golongan IV dilakukan oknum tenaga kesehatan (nakes) yang dilakukan secara melawan hukum.
Modus kedua, oknum nakes terdaftar yang membuat resep obat namun tidak memiliki izin praktik dan tidak sesuai kompetensi. Selain itu, oknum karyawan apotek membuat resep obat namun tidak terdaftar sebagai tenaga kesehatan dan tidak memiliki izin praktik,” ucap Direskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak saat konferensi pers di Mapolda Metro Jaya, Selasa (22/8/2023).
“Memproduksi dan atau memperdagangkan berbagai jenis obat illegal yang tidak memiliki izin edar resmi dari BPOM dan atau melakukan praktik kefarmasian tanpa keahlian,” ujar Ade Safri.
Adapun jenis obat tersebut antara lain Hexymer, Tramadol maupun Alprazolam. Hexymer dan Tramadol merupakan obat keras yang masuk dalam daftar golongan G, sementara Alprazolam termasuk jenis psikotropika golongan IV. Pengungkapan ini berdasarkan 9 laporan polisi mulai Juni – Agustus 2023. Sudah ditetapkan 7 tersangka sejauh ini atas kasus penjualan obat ilegal tersebut.
“Pada periode bulan Juni sampai dengan Agustus, berhasil melakukan ungkap kasus terhadap 9 laporan polisi,” imbuhnya.
“Jadi apabila ditotal hasil pengungkapan dari Januari sampai Agustus 2023, yang kami sita sebanyak 39.185 butir hexymer, kemudian 31.993 alprazolam termasuk psikotropika golongan IV, kemudian tramadol 11.083 butir dan berbagai jenis obat lainnya,” terang Ade.
Pihaknya turut menyita uang tunai senilai Rp.26.849.000, 14 unit HP, 4 bundel dan 3 lembar strip resep dokter. Lalu 3 bundel segel Bayer dan Pfizer, 5.000 butir kapsul obat kosong, 1 unit mobil, 2 unit alat press obat.
Para tersangka dikenakan Pasal 60 angka 10 jo angka 4 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Atas Perubahan Pasal 197 jo Pasal 106 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.500.000.000 (1,5 milyar),” pungkas Ade. (Guffe)