Ambarawa, JNcom – Dalam rangka memperingati hari Pahlawan, sejumlah komunitas Wanita Berkebaya mengadakan Ziarah dan Doa bersama dilanjutkan baca Puisi serta tabur bunga di makam Pahlawan dr. Tjipto Mangoen Koesoemo
yang terletak di TMP Watu Ceper Ambarawa, Kamis, (14/11/2024).
Kegiatan yang berlangsung pukul 17 sore diawali dengan pertemuan, prosesi Ziarah, sambutan dari sesepuh komunitas, Maria Utami. Dalam kesempatan itu, Maria Utami menyampaikan rangkaian kegiatan serta mengajak siapa saja yang mau dan turut peduli berusaha dan berkebaya dalam kegiatan sehari-hari sekalian bisa syiar berkebaya.
“Dalam kesempatan ini saya mengajak bagi kaum wanita dalam sehari-hari mengenakan busana Kebaya atau pada kegiatan tertentu karena Kebaya bagian dari kearifan lokal,” ujar Maria Utami.
Sementara itu, Noor Hayati pada sesi Intisari mengajak untuk kembali mengingat slogan Jasmerah, Janganlah sekali- kali melupakan sejarah. “Sejarah perjuangan dan keteladanan dari pahlawan kita disini dr. Tjipto MangoenKoesoemo yang berjuang bagi bangsa Indonesia terutama bagi masyarakat pribumi dan karena jasanya juga beliau mendapatkan penghargaan dari pihak Belanda,” ujarnya.
Acara dilanjutkan dengan pembacaan biografi dr. Tjipto Mangoen Koesoemo dalam riwayat perjuangan dan dedikasi yang mewarnai tinta Emas perjuangan .
Kisah Dr Tjipto Mangoenkoesoemo adalah seorang tokoh pergerakan Kemerdekaan Indonesia. Bersama dengan Ernest Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara ia dikenal sebagai “Tiga Serangkai” yang banyak menyebarluaskan ide pemerintahan sendiri dan kritis terhadap pemerintahan penjajahan Hindia Belanda.
Ia adalah tokoh dalam Indische Partij, suatu organisasi politik yang pertama kali mencetuskan ide pemerintahan sendiri di tangan penduduk setempat, bukan oleh Belanda. Pada tahun 1913 ia dan kedua rekannya diasingkan oleh pemerintah kolonial ke Belanda akibat tulisan dan aktivitas politiknya, dan baru kembali 1917.
Dokter Cipto menikah dengan seorang Indo pengusaha Batik, sesama anggota organisasi Insulinde, bernama Marie Vogel pada tahun 1920.
Berbeda dengan kedua rekannya dalam “Tiga Serangkai” yang kemudian mengambil jalur pendidikan, Cipto tetap berjalan di jalur politik dengan menjadi anggota Volksraad. Karena sikap radikalnya, pada tahun 1927 ia dibuang oleh pemerintah penjajahan ke Banda.
Dokter Cipto wafat pada tahun 1943 dan dimakamkan di TMP Ambarawa Kabupaten Semarang. Pada tanggal 19 Desember 2016, mengenang atas jasa jasanya, Pemerintah Republik Indonesia, mengabadikan dr Cipto di pecahan uang logam rupiah baru, pecahan Rp. 200,-
Dalam catatan sejarah, dr Cipto Mangunkusumo dilahirkan pada 4 Maret 1886 di desa Pecangakan, Jepara, adalah putera tertua dari Mangunkusumo, yang memiliki terah darah seorang Priyayi rendahan dalam struktur masyarakat Jawa. Karier Mangunkusumo diawali sebagai Guru bahasa Melayu di sebuah sekolah dasar di Ambarawa, kemudian menjadi kepala sekolah pada sebuah sekolah dasar di Semarang dan selanjutnya menjadi pembantu administrasi pada Dewan Kota di Semarang. Sementara, sang ibu adalah keturunan dari tuan tanah di Mayong, Jepara.
Meskipun keluarganya tidak termasuk golongan Priyayi birokrasi yang tinggi kedudukan sosialnya, Mangunkusumo berhasil menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang yang tinggi. Cipto beserta adik-adiknya yaitu Gunawan, Budiardjo, dan Syamsul Ma’arif bersekolah di STOVIA, sementara Darmawan, adiknya bahkan berhasil memperoleh beasiswa dari pemerintah Belanda untuk mempelajari ilmu kimia industri di Universitas Delft, Belanda. Si bungsu, Sujitno terdaftar sebagai mahasiswa Rechtshoogeschool te Batavia.
Sebaga puncak acara , komunitas yang di dominasi kaum Hawa itu menyanyikan lagu Gugur Gunga semakin menjadikan momen ziarah ini berkesan dalam meneladani perjuangan dr. Tjipto.
Acara di akhiri dengan foto bersama dan tabur bunga. (NANO)