Semarang, JNcom – Tanggal 2 Oktober telah ditetapkan oleh Unesco sebagai Hari Batik Nasional. Dekade belakangan ini warga masyarakat mengenakan Batik hanya hari hari tertentu. Misalnya pada acara resepsi Pernikahan atau acara-acara resmi.
Terkait Batik, Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Ngatmi S. Pd mengatakan, kain Batik hanya orang-orang tertentu yang bisa mengenakan busana Batik dan menurutnya kondisi itu terjadi di era-era Kolonial atau dimasa Kerajaan karena yang mengenakan Batik hanya warga lingkungan Keraton.
Berkembangnya jaman, Batik tidak saja dikenakan oleh keluarga Keraton tapi sudah membudaya ditengah warga masyarakat karena Batik menjadi bagian kearifan lokal.
Masih menurut Ngatmi, dewasa ini Batik telah berkembang beberapa motif dan hampir di berbagai daerah melahirkan motif Batik seperti pesisir, itu lebih bermotif ngejreng dan contoh lagi di Cirebon dengan motif mega mendung. Di Ambarawa sendiri juga ada Batik Patron
karena Batik jika dicermati selain unik juga ada Filosofiinya
Sementara itu Kepala Sekolah SMP Negeri Ambarawa, Maria Utami berpendapat, kegiatan Batik di sekolahnya menjadi Eskul. Meski bukan wajib tapi jika mengacu pada P. 5 tentang Penguatan kearifan lokal. Untuk mengangkat kerarifan lokal bukan saja Batik tapi menurutnya bisa melalui kuliner (serabi).
“Mengacu pada Kurikulum Merdeka, dilingkungan sekolah memang Batik masih Eskul dan telah tertuang dalam P. 5 tentang Penguatan kearifan lokal,” ujar Utami.
Tentang Batik, tambah Utami, pihaknya telah minta bimbingan perajin Batik Patron karena Patron khas Batik Ambarawa sejak 1867 yang belakangan ini baru ditemukan.
Dalam kesempatan itu, Utami mengajak agar semua tingkatan Sekolah mengajarkan Batik yang telah menjadi kearifan lokal dan perlu di uri-uri serta dilestarikan agar jangan sampai kearifan lokal itu punah. Hancurnya sebuah negara bisa melalui budaya.
“Batik bagian kearifan lokal yang patut dilestarikan karena hancurnya sebuah negara bisa melalui budaya,” pungkasnya. (NANO)
