Jakarta, JNcom – Terbitnya Peraturan Pemerintah No.21/2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA) yang mewajibkan pekerja untuk membayar iuran TAPERA menjadi polemik dan mengejutkan kalangan pengusaha dan pekerja di Daerah Khusus Jakarta.
Menyikapi polemik tersebut, Dewan Pimpinan Provinsi Asosiasi Pengusaha Indonesia (DPP APINDO) Daerah Khusus Jakarta bersama Federasi Serikat Pekerja (FSP) Logam Elektronik dan Mesin (LEM/SPSI), FSP Kebangkitan Buruh Indonesia (FKUI KSBSI), FSP Serikat Pekerja Nasional (SPN/KSPI), FSP Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia), FSB Kimia Industri Umum, Farmasi, Kesehatan (KIKES), FSP Kimia Energi Pertambangan (KEP), dan FSP Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) menyatakan menolak dan meminta kepada pemerintah untuk membatalkan implementasi TAPERA.
“Pada prinsipnya, DPP APINDO dan FSP Pekerja DK Jakarta menghargai setiap kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, termasuk kebijakan perumahan untuk pekerja. Namun selama sosialisasi program TAPERA sejak tahun 2016, DPP APINDO DK Jakarta sudah menyatakan keberatan atas implementasi program tersebut untuk perusahaan swasta karena BPJS Ketenagakerjaan telah menyediakan fasilitas serupa dari Manfaat Layanan Tambahan (MLT) dalam program Jaminan Hari Tua (JHT). Jadi program TAPERA ini tumpeng tindih dengan program yang sudah ada sebelumnya,” kata Ketua DPP APINDO DKJ, Dr. Solihin dalam jumpa pers di kantor APINDO DK Jakarta, Senin (10/6/2024).
Hal senada diungkapkan Eri Wibowo, Wakil Sekjen Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia). Menurutnya, Selain tumpang tindih, Program TAPERA dinilai tidak menjamin pemilikan rumah bagi seluruh pekerja, karena terbatas hanya kepada pekerja berpenghasilan rendah. Sedangkan dalam program perumahan pada MLT BPJS Ketenagakerjaan, berlaku bagi setiap pekerja yang memenuhi persyaratan.
Mengenai iuran TAPERA, Solihin menilai pungutan sebesar 0,5% kepada pengusaha menjadi beban tambahan. “Total pungutan yang menjadi beban pengusaha saat ini sudah mencapai 18,24 hingga 19,74 persen,” tambah Solihin.
Ketua DPC FSB Kebangkitan Buruh Indonesia (FKUI/KSBSI) Jakarta, Bambang Getero SH mengatakan, nilai iuran 2,59 persen itu besar jika dibandingkan kenaikan UMP Jakarta. “Hal ini memberatkan pekerja karena akan mengurangi daya beli pekerja di tengah kondisi perekonomian yang berat saat ini,” ujarnya.
Pendapat yang sama diutarakan Muhammad Andre Nasrullah, Ketua Federasi Serikat Pekerja Nasional (SPN). Ia berpendapat bahwa buruh/pekerja swasta memiliki potensi PHK yang tinggi sehingga kesinambungan bekerjanya terbatas, maka mekanisme pencairan dana atau keberlanjutannya menjadi sulit. Berbeda dengan PNS, TNI/Polri yang masa kerjanya lebih stabil dan berjangka panjang. Surya Kencana, Ketua FSB Kimia Industri Umum, Farmasi, Kesehatan (KIKES), memiliki pandangan yang sama dengan Andre, oleh karena itu, menurut Surya iuran TAPERA seharusnya bersifat sukarela.
Sementara itu, Yusup Suprapto, Ketua FSP Logam, Elektronik dan Metal (LEM) DK Jakarta, membandingkan pengelolaan BPJS Ketenagakerjaan yang melibatkan unsur Pemberi Kerja dan Pekerja sebagai anggota Dewan Pengawas dan Pengawasan Internal oleh DJSN. “Sedangkan pengelolaan TAPERA dilakukan oleh Komite yang tidak melibatkan unsur Pemberi Kerja dan Pekerja, karena program ini awalnya memang diperuntukan bagi PNS, TNI dan POLRI.
“Selanjutnya, DPP APINDO dan FSP DK Jakarta akan mencermati dinamika yang berkembang ke depannya, dengan mempertimbangkan kebijakan organisasi nasional,” pungkas Solihin. (Red/my)