Jakarta, JNcom – Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas membuat gagasan terkait Kantor Urusan Agama (KUA) dijadikan sebagai pusat layanan keagamaan. Kedepanya muncul KUA inklusi yang merupakan bagian dari revitalisasi KUA/ pencatatan pernikahan terintegrasi dengan baik dengan tujuan diskriminasi antar agama satu dan lainnya bisa hilang.
Terobosan ini belakangan menimbulkan pro kontra ditengah-tengah masyarakat. Alasan digulirkannya gagasan tersebut bertujuan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam mengakses layanan yang diberikan pemerintah, terutama bagi masyarakat dengan keterbatasan akses.
Menurut KH Abdul Muhaimin secara historis, departemen agama dengan struktur kelembagaan dibawahnya itu merupakan konsesi di coretnya tujuh kata dari piagam Jakarta yang tadinya melekat dalam batang tubuh Pancasila sebagai dasar negara.
“Artinya Kemenag itu konsesi khusus umat Islam dan itu buah sejarah toleransi umat Islam sebagai mayoritas bangsa Indonesia,” ujar KH Abdul Muhaimin selaku Ketua Umum DPP Ikatan Pondok Pesantren (IPI) ketika dihubungi JURNALNUSANTARA.COM, di Jakarta, Sabtu (16/03/2024).
Dikatakan Muhaimin memang pembangunan kantor KUA sempat menimbulkan kecemburuan agama lain tetapi kecemburuan itu tidak proporsional.
“KUA selain mengurusi nikah juga banyak urusan lokal yang harus ditangani seperti wakaf, masjid, LPTQ dll,” terangnya.
Lebih jauh Muhaimin juga mengkritisi Ide/gagasan bahwa KUA dijadikan sebagai pusat layanan keagamaan, sebaiknya rencana tersebut ditinjau ulang, dipertimbangkan dengan matang karena selain memakan waktu juga kendala SDM dan infrastruktur yang belum cukup.Belum lagi aspek politis yang berjalan tidak mudah disertai dampak sosial baru.
“Proyek moderasi beragama besutan Kemenag sebatas proyek internal yang tidak melibatkan aktifis lintas agama yang jauh telah berkiprah sebelum ada nomenklatur proyek moderasi beragama,” tegasnya.
Disinggung mengenai dampak psikologis terhadap umat non muslim jika pencatatan pernikahan dipusat di KUA menurutnya beberapa tokoh organisasi non muslim telah menyatakan resistensinya terhadap ide tersebut.
“Bahkan dinilai sensasional dan tidak relevan dengan kultur keagamaan di Indonesia,” tandasnya. (s handoko)