Jakarta, JNcom – Transformasi pendidikan tinggi di Indonesia mengalami pergerakan cepat seiring dengan inovasi teknologi/SDM yang dibutuhkan industri.Tak pelak baru-baru ini Kemendikbudristek meluncurkan Program Doktor Terapan/S-3 untuk menjawab jenjang pendidikan vokasi, utamanya untuk program pascasarjana guna daya saing bangsa hal ini buah dari amanat UU 12/2012.Namun program tersebut menimbulkan pro-kontra ditengah masyarakat.
Menurut Prof Sumaryoto ada dua jalur pendidikan yakni akademik dan vokasi kalau akademik S1,S2 dan S3/ sarjana, magister dan doktor sementara vokasi adalah D1,D2, D3 dan D4, spesialisasi 1 dan spesialisasi 2 dalam perkembangannya muncul sarjana terapan, magister terapan dan doktor terapan.
“Mestinya sudah cukup spesialisasi 1 dan spesialisasi 2 karena kalau doktor itu lebih ke ilmuan seorang ilmuan bukan praktisi jadi saya kurang sependapat dengan doktor terapan, rancu bahkan sudah tumpang tindih. karena doktor gelar akademik bagi para dosen untuk mengajar di perguruan tinggi. Sedangkan doktor kehormatan karena memiliki prestasi luar biasa dalam bidang tertentu. Di Indonesia, gelar doktor kehormatan banyak diselewengkan hanya karena hanya untuk mengejar gelar doktor,” ujar Prof Sumaryoto Rektor Unindra kepada JURNALNUSANTARA.COM, di Jakarta, Sabtu (02/03/2024).
Dikatakan Prof Sumaryoto urgensi doktor terapan sebenarnya tidak terlalu penting dunia usaha pun cukup spesialisasi 2, sudah super ahli hanya untuk dipraktekkan. Diluar negeri/negara maju tidak dibutuhkan doktor terapan. Seperti di Jepang hanya dibutuhkan lulusan program diploma.
“Jadi kurang tepat kalau doktor di perusahaan, relevansinya apa. Doktor adalah gelar akademik (academic degree) untuk ilmuwan, akademisi yang mencetak tenaga-tenaga ahli termasuk mengajar untuk program Vokasi. Syarat Dosen sebagai pengajar, baik pendidikan akademik maupun vokasi tetap sama harus bergelar doktor,” terangnya.
Secara umum tambah Prof Sumaryoto dalam dunia usaha/dunia Industri ( DUDI ), tidak membutuhkan doktor terapan, karena yang dibutuhkan saat ini adalah kompetensi bidang tertentu, yang dibuktikan dengan sertifikasi.
“Di perbankan saja S2 tidak terlalu dibutuhkan cukup lulusan D4/S1 karena bidangnya adalah dunia praktik, bukan akademik . Untuk menambah skill diperlukan pelatihan/training sesuai dengan kebutuhan/perkembangan iptek. Sedangkan untuk bidang akademik, dibutuhkan riset untuk pengembangan ilmu pengetahuan yang harus diajarkan,” tandasnya. (s handoko)