Jakarta, JNcom – Belakangan muncul wacana penghentian program beasiswa dari Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP). Diketahui pemerintah telah menganggarkan 20 persen dari APBN untuk pendidikan. Sebanyak Rp 20 trilliun diluncurkan untuk LPDP. Dimana kebutuhan anggaran 20 persen ini juga akan digunakan untuk membenahi pendidikan dan riset. Karena minimnya anggaran riset dan rendahnya rasio penduduk lulusan pendidikan tinggi di Indonesia.
Menurut Prof Sumaryoto kebutuhan ini pastinya terkait dengan bagaimana meningkatkan kualitas perguruan tinggi tersebut sekaligus kualitas riset.
“Jadi dirasa tidak tepat jika dana 20 persen dialokasikan untuk riset.Kerena itu lebih mendesak dan prioritas meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) dari pada risetnya,” ujar Prof Sumaryoto Rektor Unindra kepada JURNALNUSANTARA,COm, di Jakarta, Sabtu (27/01/2024).
Prof Sumaryoto menyatakan riset sebetulnya dosen sudah terbiasa dengan melaksanakan program tridarma jadi kalau alasannya untuk riset tidak tepat karena tuntutan prioritasnya adalah SDM, bagaimana meningkatkan daya saing yang unggul.
“Intinya skala prioritasnya adalah peningkatan SDM kalau di perguruan tinggi para dosen,” imbuhnya.
Lebih lanjut Prof Sumaryoto menyebut jika alokasi anggaran untuk riset sebaiknya kurangi 10 persen kalau 20 persen cukup besar. Diketahui bahwa mahasiswa yang mendapat beasiswa LPDP yang study lanjut/on going dan yang dalam proses sehingga bisa terhambat kemudian menjadi bermasalah jika dihentikan.
“Sejauh ini pelaksanaan program beasiswa LPDP bagi mahasiswa SI,S2 dan S3 pada umumnya sudah memenuhi sasaran dari target yang sudah dijalankan,” terangnya.
Ditambahkan Prof Sumaryoto bagi mahasiswa penerima LPDP setelah lulusan wajib mengabdi untuk n plus 1 artinya adalah masa studynya ditambah satu tahun.
“Riset itu untuk kebutuhan program jangka panjang dalam hal kompetitif untuk semua lini jadi mana yang diprioritaskan seperti untuk teknologi/IT diarahkan kesitu dan bidang sosial dikurangi,” urainya.
Dikatakan Prof Sumaryoto sekarang ini tren pendidikan tinggi diarahkan ke era digital sehingga infrastruktur berkurang lebih ke virtual di banding visual.
“Sehingga kebutuhan infrastruktur lebih longgar bukan lagi luring karena lebih ke daring/hybrid,” tandasnya. (s handoko)