November 29, 2024

Banten, JNcom – Kekisruhan yang terjadi di dalam negeri dinilai lebih cenderung dilakukan oleh para elit partai, bukan oleh rakyat. Penilaian tersebut disampaikan Haidar Alwi dalam keterangan tertulisnya kepada awak media, Rabu (8/11/2023).

“Sejauh yang saya amati sebagai orang awam hampir seluruh Indonesia yang sedang marah-marah dan ribut di negeri ini adalah para elite partai, dibantu sedikit kaum terpelajar yang menurut saya kurang dari 5 % dari populasi bangsa Indonesia adalah para pemuja demokrasi dan konstitusi. Sedangkan mayoritas rakyat, lebih dari 95%  adem ayem aja, sibuk dengan kegiatannya sendiri,” ujar Haidar.

Celakanya, tambah Haidar, rakyat sedang diprovokasi dan dikompori oleh elite-elite yang kecewa. “Rakyat bisa marah lho, mereka bisa turun ke jalan lho, kerusuhan 1998 bisa kejadian lagi, lho, begitu mereka memanasi lewat media. Utamanya channel-channel Youtube dari tokoh yang tak punya kerjaan, jabatan dan senewen tak ada posisi lagi. Geng kecewa juga. Menyalurkan aroma kenegatifan,” ungkapnya.

Krisis ekonomi telah mendorong jatuhnya Sukarno (1966) dan Suharto (1998). Akibat kondisi ekonomi morat marit lah, rakyat turun ke jalan. Saat ini belum nampak tanda tanda itu.

Tapi krisis bisa juga dengan provokasi, manuver dan sabotase elit, hingga presiden jatuh. Seperti yang dialami Gus Dur (Juli 2001).

Sinyalemen intelejen bahwa negara asing mulai ambil bagian dengan menyebar isu disintegrasi – adu domba – jelang Pemilihan Presiden 2024 – nampaknya, memang ada benarnya. Informasi itu sudah disampaikan ke parlemen dan wakil daerah di Senayan.

Ada upaya menjadikan Indonesia pecah dan rusuh dan kini tengah gencar dilakukan. Sponsor giat mendorong pemakzulkan Presiden Jokowi, sebelum Pilpres 2024, supaya kontrak karya – khususnya di kawasan tambang yang sudah dinasionalisasi – kembali seperti awalnya. Ke zaman Orba. Agar Amerika Cs berkuasa lagi.

Kini para komprador (antek antek asing) memanfaatkan elite partai dan kaum terpelajar yang sedang marah marah dan dikecewakan. Merasa dikhianati dan dibohongi presidennya. Demokrasi terciderai. Media mainstream ikut ambil bagian.

Menurutnya, Presiden Jokowi mengecewakan para elite partai, sudah jelas. Elite partai pengusungnya, PDIP, sudah buka suara juga. Mereka merasa dikhianati dan ditinggalkan. Partai oposan ikut mengompori memanfaatkan suasana. Tapi apakah Jokowi meninggalkan rakyat? Apakah rakyat juga sedang marah pada Presiden Jokowi? Rakyat yang mana yang marah pada Presiden Jokowi?

Di ibukota dan sekitarnya, juga di Jawa Barat, rakyat sedang sibuk menikmati LRT, MRT dan kereta cepat. Di Sumatera rakyat menikmati toll, di Kalimantan harapan cerah menanti ibukota baru, di Papua, infrastuktur nampak di mana mana.

Kereta Cepat Jakarta – Bandung ‘Whoosh’ harus menambah jumlah keberangkatan menjadi 28 kali sehari dari 14 kali, sebelumnya. Proyek yang sempat disambut skeptis dan pesimistis oleh pengamat transportasi dan sebagian elite kini membalikkan keadaan.

Rakyat lah yang menggunakan KCJB (Kereta Cepat Jakarta Bandung) bukan elite dan pengamat. Rakyat juga yang menilai kinerja presiden, bukan elite partai.

*Saya menolak marah marah pada presiden yang oleh pembantunya digambarkan kerja pontang panting dari subuh hingga tengah malam, hidup dan tampil bersahaja, tak pernah tenang di istananya, keling seantero negeri demi mendorong PDB dari USD 4500 menjadi USD 6500. Mempertahankan pertumbuhan ekonomi hingga 4,6%, saat negara lain bangkrut dan jadi pasien IMF. Berani melawan negara maju demi hilirisasi. Dan jadi fokus perhatian negara industri. Mengalahkan negeri tetangga,” jelasnya.

Memperpanjang jabatan memang aib bagi demokrasi, tapi jika rakyat bisa diuntungkan dan disejahterakan, mengapa tidak? Bahkan di negara maju dan besar, ada pemimpin negara jabatan panjang.

Misalnya, Lee Kuan Yew yang mengubah kampung nelayan Singapura menjadi megapolitan global. Berkuasa lebih dari 31 tahun dari 1959 – 1990. Ada Angela Markel, Kanselir Jerman perempuan pertama sekaligus pemimpin koalisi besar, berkuasa selama 16 tahun terus menerus – sejak November 2005 hingga Desember 2021. Ada Vladimir Putin yang menjabat perdana menteri pertama kali untuk periode 1999 dan presiden sejak tahun 2012 hingga sekarang.

Jika mengenang kembali saat Gus Dur (KH Abdurahman Wahid) dijatuhkan untuk alasan yang tidak jelas, nampaknya Presiden Jokowi juga diarahkan ke sana. Dorongan ke Gibran untuk menjadi pendamping Prabowo Subianto, menjadi pencetusnya.

“Saya sebagai Presiden HAC dan HAI serta seluruh jajaran Haidar Alwi Intitut dan Haidar Alwi Care seluruh indonesia akan memilih Prabowo Subianto sebagai Capres 2024 dan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres mendatang, demi keberlanjutan dan kesuksesan indonesia yang kita cintai,” katanya.

“Saya telah memantapkan hati utk memilih nya ditengah hujatan segelintir elite dan para pemuja demokrasi yg menurut saya agak kebelinger. Saya juga menolak untuk marah marah dan kecewa pada Jokowi. Saya menolak marah pada presiden yang mengubah pandangan dunia pada Indonesia, hampir 10 tahun terakhir,” tambahnya.

Jika Jokowi berubah sikap dan arah tentu ada alasannya. Sejauh ini masih misteri. Ada yang tersembunyi yang saya yakini demi indonesia yang lebih baik.

Hal lebih utama : apakah Jokowi meninggalkan rakyat? Mengkhianati rakyat?

Jokowi meninggalkan sebagian kecil elite pendukungnya, iya. Tapi meninggalkan rakyat jelas pasti tidak.

“Saya ingin mengutip ucapan Marcus Tullius Cicero atau Cicero (106 SM – 45 SM), filsuf Romawi, yang pernah disampaikan Menko Polhukham Mahfud MD : “Salus populi suprema lex esto”, keselamatan rakyat, keselamatan negara lebih tinggi dari konstitusi. Demi menyelamatkan negara, kalau perlu langgar konstitusi,” katanya. (Mul)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *