Jakarta JNcom – Pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyatakan telah terjadi 12 pelanggaran HAM yang berat masa lalu pada saat menerima Laporan dan Rekomendasi TPPHAM berat sebagai mandat Keppres Nomor 17 tahun 2022, mendapat reaksi keras dari para Purnawirawan TNI-Polri.
“Kami menolak pernyataan terkait 12 pelanggaran HAM dan menuntut Pemerintah melalui Komnas HAM untuk meneliti kembali kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat masa lalu secara transparan dan akuntabel, sehingga para pihak yang dirugikan atas pelanggaran HAM berat yang dimaksud mendapatkan keadilan,” ujar mantan wakil Presiden Tri Sutrisno yang juga Purnawirawan TNI dalam pernyataan sikap yang disampaikan secara virtual, Kamis (26/10/2023) di Jakarta.
Sebagai informasi, daftar 12 pelanggaran HAM masa lalu yang diakui pemerintah Jokowi yaitu Peristiwa 1965-1966; Penembakan Misterius 1982-1985; Peristiwa Talangsari Lampung 1989; Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1998; Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998; Peristiwa Kerusuhan Mei 1998; Peristiwa Trisakti Semanggi 1 & 2 1998-1999; Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999; Peristiwa Simpang KAA di Aceh 1999; Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002; Peristiwa Wamena Papua 2003; Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.
Sementara itu, Sekretariat Jenderal FOKO Purnawirawan TNI/Polri Letjen. (Purn.) Bambang Darmono menegaskan bahwa ketika masih aktif di TNI Angkatan Darat, sangat konsen terhadap pelanggaran HAM.
“Kita sangat konsen dan menghormati terhadap pelanggaran HAM. Kami punya 5 buku pedoman berseri bagaimana etika bertempur itu harus dilaksanakan, artinya kita tidak menghendaki adanya pelanggaran HAM,” tegas Bambang Darmono.
Bambang menambahkan, akibat dari pernyataan tersebut, dampak yang telah dirasakan oleh Purnawirawan misalnya ketika ada seorang perwira tinggi TNI yang tidak bisa berangkat ke Amerika untuk berobat karena namanya dituduh terdaftar dalam daftar pelanggaran HAM.
“Beliau (pak Tri) tidak bisa berangkat ke luar negeri, padahal kasus itu sudah dihapus karena sudah selesai kasusnya. Kalau beliau dicegah ke luar negeri untuk berobat, lalu sakitnya tidak bisa disembuhkan, bukankan yang melarang itu melakukan pelanggaran HAM?” kata Bambang.
Tuntutan ini, kata Darmono, forever bagi kita sepanjang diperlakukan seperti itu akan terus menuntut dan melakukan sesuatu karena ketidakadilan negara terhadap kami. (Red)