Jakarta, JNcom – Kemendikbud Ristek, berencana akan memastikan Kurikulum Merdeka menjadi kurikulum nasional pada 2024 dengan alasan materi lebih ringan, tidak membebani dan fleksibel dibanding kurikulum 2013. Hal ini tak luput dari dampak pandemi Covid. tentu kedepannya sekolah wajib mengubah secara bertahap kurikulumnya di tahun depan menjadi kurikulum nasional 2024. Lalu Bagaimana untuk kesiapan sarana dan prasaran di wilayah
daerah tertinggal, terdepan, dan terluar.
Menurut Prof Sumaryoto terkait dengan rencana kurikulum merdeka akan menjadi kurikulum nasional, pemerintah harus melihat kondisi objektif artinya bahwa kemampuan masing-masing sekolah tidak merata untuk memberlakukan kurikulum baru. Biasanya pemerintah membuat prioritas misalnya daerah mana yang sudah siap biasanya di kota-kota besar masyarakat lebih maju dibanding daerah lain. Bahkan anak didiknya lebih cepat mengakses kurikulum baru.
“Selanjutnya, untuk daerah terpencil, terbelakang dan terluar agar terus dikawal terkait dengan perubahan ini, sehingga jangan sampai disatu sisi ada daerah yang mampu menyerap dan menyesuaikan kurikulum baru sementara ada daerah yang kesulitan dan tertinggal. Hal ini merupakan tanggung jawab pemerintah,” ujar Prof Sumaryoto Rektor Unindra kepada JURNALNUSANTARA.COM, di Jakarta, Kamis (21/09/2023).
Dikatakan Prof Sumaryoto sebenarnya kurikulum merdeka lebih fleksibel karena tidak menambah beban dan hambatan, untuk itu sebelum diberlakukan kurikulum baru ini harus sudah melalui kajian, pertimbangan dan penelitian untuk mengantisipasi dampak yang akan timbul.
“Kalau kurikulum merdeka menimbulkan kemudaratan bukan kurikulum merdeka namanya. Pemerintah harus bijak dan paham dalam meninjau atau mengubah kurikulum untuk peserta didik khususnya bagi SD,SMP dan SMA/ sederajat,“ imbuhnya.
Ditambahkan Prof Sumaryoto seperti diketahui kurikulum sekarang secara umum sudah bergeser.Kalau dulu guru menjadi pelaku utama dalam proses belajar mengajar, sekarang guru sudah memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkreasi dan mengembangkan gagasan sesuai dengan tingkat pendidikannya.Kalau ditingkat SD belum bisa karena masih berpikir empirik (melihat, mendengar dan mengikuti).
“Apalagi untuk tingkat perguruan tinggi, ada kampus model terbuka (tanpa dosen luring/daring), sehingga proses pembelajaran menggunakan modul 2 perkuliahan (sebagai media pembelajaran). UT (Universitas Terbuka) tidak menggunakan dosen dalam proses penbelajaran, sehingga mahasiswa belajar secara mandiri. Dalam kondisi ini mahasiswa dituntut untuk lebih kreatif dan innovatif,” urainya.
Pada prinsipnya kurikulum baru ini tambah Prof Sumaryoto tidak ada masalah sepanjang penerapan kurikulum merdeka sudah melalui kajian mendalam dan komprehensif sehingga sudah mengantisipasi berbagai dampak yang mungkin timbul. Namun jika pemerintah hanya mengejar target dan terkesan dipaksakan, saya kurang setuju.
“Artinya kalau belum dikaji secara matang dengan berbagai macam pertimbangan praktis dan pertimbangan okjektif dilapangan jangan dipaksakan dulu, tapi jika sudah dikaji dan disosialisasikan, baru bisa diterapkan secara bertahap, terlebih kurikulum bukan hal yang mudah tapi penting karena kurikulum menjadi sumber acuan guru untuk mengajar dikelas. Meninjau kurikulum adalah suatu kaharusan (maksimal 2 tahun sekali), tetapi tidak harus mengubah,” tandasnya.(s handoko)