Jakarta, JNcom – Fenomena pelaksanaan wisuda tingkat PAUD/TK, SD, SMP dan SMA/SMK menimbulkan polemik dikalangan masyarakat disamping cenderung seremonial dan menelan biaya jutaan rupiah juga tidak ada substansi yang didapat.Alhasil sebagian besar orang tua siswa menginginkan dihapus/ ditiadakan. Hal ini wajar karena status sosial/ekonomi setiap siswa tidak sama.
Padahal hakikat kelulusan seseorang pada prinsipnya bukan diukur dari perayaan, melainkan proses dan hasil yang diperoleh sebagai bagian dari pengalaman bermakna di masa sekolah.
Harapannya untuk bisa berguna dalam kehidupan nyata.
Menurut Prof Sumaryoto kalau dilihat dari sejarah wisuda jelas kurang lazim dilakukan ditingkat PAUD-SMA .Pelaksanaan wisuda dengan mengenakan toga dilihat sejarah perguruan tinggi terutama diluar negeri (sebagai awal upacara wisuda) wisuda merupakan acara pelantikan setelah lulus pendidikan tinggi sehingga mempunyai keahlian/kompetensi tertentu dengan memperoleh gelar akademik/sebutan profesi. Sementara jika seorang siswa tamat dari jenjang sekolah (PAUD sampai dengan SMA/SMK/MA). Belum memperoleh keahlian / kompetensi tertentu, sehingga belum diberikan gelar/sebutan professi. Dengan demikian tidak tepat jika yang diwisuda hanya tamatan sekolah ( dari PAUD sampai dengan SMA/SMK ), tidak ada gelar/sebutan profesi yang diraih.
“Wisuda kurang tepat di laksanakan di tingkat PAUD-SMA karena belum ada gelar/sebutan profesi dan sifatnya masih umum karena belum memiliki kompetensi,” ujar Prof Sumaryoto Rektor UNINDRA kepada JURNALNUSANTARA.COM,di Jakarta pada Minggu (13/08/2023).
Dikatakan Prof Sumaryoto belum lagi ada kewajiban wisuda ditingkat PAUD-SMA yang membebani orang tua wali. Sehingga tidak tepat serta tidak lazim dan menimbulkan beban tambahan bagi wali/orang tua murid.
“Logikanya dimana kalau diwisuda baru ditingkat SMA apalagi di PAUD yang belum mempunyai kompetensi tertentu. Selain itu justru ada efek samping seperti biaya kecuali wisuda anggarannya dari pemerintah tidak ada masalah,” tandasnya. (s Handoko)