Jakarta, JNcom – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) meluncurkan program pendidikan sastra masuk kurikulum merdeka dalam ajaran tahun baru dengan asumsi penambahan, perbaikan dan peninjauan, hal ini menimbulkan polemik ditengah masyarakat akibat munculnya konten pornografi dan kekerasan dalam rekomendasi buku sastra tersebut. Pendidikan sastra untuk mengedepankan pengetahuan karya sastra di Indonesia.
Menurut Prof Sumaryoto memang ada ketentuan meninjau kurikulum di dunia pendidikan tinggi paling lama dua tahun tapi tidak harus mengubah kurikulum , yang tentunya dengan menyesuaikan kebutuhan.
Kemudian mengubah substansi kurikulum harus mempertimbangkan perkembangan ilmu pengetahuan / teknologi serta kebutuhan dunia kerja/industri, hal seperti ini yang harus menjadi suatu rujukan. Kalau memang hal tersebut menuntut suatu perubahan, maka untuk melengkapi dan memperbaiki kurikulum di lakukan perubahan, tetapi selagi diluar sana tidak membutuhkan perubahan maka kurikulum harus berubah, hal itu menjadi prinsip dalam perubahan kurikulum.
“Karena begitu merubah kurikulum itu konsekuensinya panjang bagi mahasiswa seperti terlambat lulus,menyesuaikan kebulatan study lantas mengikuti mata kuliah baru/mata kuliah yang berubah karena tidak semua mahasiswa selesai tepat waktu ini yang jadi masalah.Merubah kurikulum gampang tapi konsekuensi jauh lebih ruwet,” ujar Prof Sumaryoto Rektor UNINDRA kepada JURNALNUSANTARA.COM, di Jakarta, Kamis (05/09/2024).
Dikatakan Prof Sumaryoto bicara kurikulum merdeka antara lain ada kegiatan/program magang dan mengajar diluar kampus . Persoalan mendasarnya adalah penyeyaraan kegiatan tersebut dengan mata kuliah yang ada dalam kurikulum program studi terkait. Apabila tidak bisa disetarakan tidak bisa masuk kurikulum walupun hal tersebut adalah program merdeka belajar.
“Karena kurikulum adalah merupalan kebulatan study untuk kompetensi tertentu, maka setiap mahasiswa memilih bidang studi sesuai dengan minat/bakat dan kemampuan masing-masing. Dengan demikian pada kenyataannya tidak ada mahasiswa yang multitalent,” imbuhnya.
Disinggung terkait pornografi dan kekerasan masuk dalam kurikulum program pendidikan sastra, Prof Sumaryoto menyebut persoalan pornografi harus kita kaji secara mendalam/ cermat terlebih dahulu. Apalagi kalau mau mengubah substansi kurikulum seperti itu harus ada sosialisasi untuk menilai bagaimana responsi masyarakat, jadi jangan tiba-tiba diubah langsung diterapkan sehingga yang bingung tentu yang mengajar baik guru atau dosen . Hal itu yang menjadi masalah.
“Diam itu bukan berarti setuju karena dengan kurikulum yang sering berubah yang muncul masa bodoh yang kasihan dan menjadi korban adalah peserta didik. Hal yang seperti ini yang sering terjadi dalam praktik,” imbuhnya.
Berbicara sastra adalah bicara seni tambah Prof Sumaryoto. Memang seni dengan imajinasi/berhayal, bukan menggunakan nalar/logika. Contoh seorang pengarang cerita, sebelum membuat cerita perlu berkhayal/ berimajinasi dulu untuk mendapatkan inspirasi.
“Kalau imajinasi dikaitkan dengan pornografi artinya sudah keluar dari seni.Seni itu lebih ke masalah estetika, keindahan kalau pornografi bukan seni,” tandasnya. (s handoko)