November 28, 2024

Dewi Rahmawati dan Christina Clarissa Intania dalam Ngobrol Kebijakan (Ngobi) TII episode 18: “Kupas Kulit Pisang RUU Penyiaran”. Dalam siarannya hari ini, Jumat (7/6/2024). Foto. Ilustrasi.

Jakarta, JNcom – RUU Penyiaran merupakan salah satu regulasi penting dalam dunia media dan jurnalistik di Indonesia. Sebagai bagian dari sistem demokrasi, media memiliki peran yang krusial dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan memberikan informasi yang akurat serta berimbang kepada masyarakat.

Dalam konteks ini, ada beberapa alasan mengapa pemerintah harus memberikan ruang kerja yang memadai bagi jurnalis antara lain: Pengawasan terhadap Pemerintah, Menjaga Kebebasan Pers, Menyediakan Informasi yang Akurat dan Berimbang. Melindungi Jurnalis dari Ancaman dan Intimidasi, serta Memfasilitasi Pendidikan dan Pengembangan Profesional Jurnalis.

Dengan memberikan ruang kerja yang memadai bagi jurnalis, pemerintah tidak hanya mendukung profesi jurnalistik, tetapi juga memperkuat sistem demokrasi secara keseluruhan.

Regulasi penyiaran yang adil dan proporsional akan membantu menciptakan lingkungan media yang sehat, dimana informasi yang disampaikan kepada publik dapat dipercaya dan memiliki kredibilitas tinggi.

Pendapat Dewi Rahmawati, peneliti bidang sosial dari The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), menekankan pentingnya pembahasan RUU Penyiaran. Beliau menyoroti penggunaan frekuensi publik, seperti televisi, yang sering dimanfaatkan oleh figur publik atau artis untuk meningkatkan publisitas mereka.

Berikut adalah beberapa alasan mengapa pandangan ini relevan dalam konteks pembahasan RUU Penyiaran, Mencegah Dominasi Figur Publik, Memperkuat Demokrasi dan Kebebasan Informasi.

Dalam konteks ini, pernyataan Dewi Rahmawati menegaskan pentingnya regulasi yang mengatur penggunaan frekuensi publik agar lebih transparan, adil, dan berorientasi pada kepentingan umum.

“Pembahasan RUU Penyiaran perlu mempertimbangkan aspek-aspek ini untuk menciptakan lingkungan media yang sehat dan demokratis,” imbuhnya.

Sambungnya, padahal pemberitaan kehidupan pribadi tokoh-tokoh tersebut itu tidak menyangkut putusan kebijakan yang berpengaruh kepada kepentingan publik. Demikian, hal itu yang disampaikan Dewi Rahmawati dan Christina Clarissa Intania dalam Ngobrol Kebijakan (Ngobi) TII episode 18: “Kupas Kulit Pisang RUU Penyiaran”. Dalam siarannya hari ini, Jumat (7/6/2024).

Christina Clarissa Intania, peneliti bidang hukum dari The Indonesian Institute (TII), menyatakan bahwa dalam RUU Penyiaran terdapat beberapa materi yang perlu ditinjau ulang. Salah satunya adalah Standar Isi Siaran (SIS) yang dilarang dalam Pasal 50B ayat (2).

Berikut beberapa poin penting terkait hal ini adalah: Kebutuhan akan Standar Isi Siaran (SIS), Perlindungan Masyarakat, Kepastian Hukum bagi Penyiar, Pengembangan Konten Lokal, Keseimbangan Kebebasan Berpendapat dan Tanggung Jawab

Christina Clarissa Intania menyoroti bahwa Pasal 50B ayat (2) dalam RUU Penyiaran, yang melarang SIS, harus ditinjau ulang. Hal ini penting agar regulasi penyiaran tetap mampu menjamin kualitas dan keamanan konten yang disiarkan, serta melindungi kepentingan publik.

Meninjau ulang pasal ini dapat membantu menciptakan regulasi yang lebih seimbang antara kebebasan pers dan tanggung jawab sosial.

Menurutnya, dilarangnya penayangan eksklusif jurnalistik investigasi bertentangan dengan prinsip demokrasi dan melanggar kebebasan pers. Selain itu, dilarangnya siaran yang berhubungan secara subjektif menyangkut kepentingan politik tentulah sangat rancu dan bertentangan atas prinsip-prinsip kerja jurnalistik.

Christina menyebutkan, RUU ini juga menyimpan masalah lainnya seperti meningkatnya ruang lingkup penyiaran KPI yang semakin meluas. Berdasarkan RUU, Konten over the top atau OTT, seperti Netflik, Disney Plus masuk dalam lingkup pengaturan yang di RUU disebut sebagai LPB atau Lembaga Penyiaran Berlangganan.

“Dengan pengaturan kelembagaan KPI yang semakin luas, hal ini akan mengancam sektor layanan bisnis dan usaha,” ujarnya.

Di sisi lain, Dewi menjelaskan, ancaman dari adanya RUU ini terhadap advokasi pada kelompok marginal. Sangat mungkin hasil-hasil kerja advokasi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil dapat menjadi ancaman terhadap pemerintah.Adanya RUU ini akan membatasi akses informasi masyarakat terhadap berbagai peristiwa ketidakadilan yang terjadi.

“Oleh sebab itu, kita harus tetap melindungi aktivitas-aktivitas jurnalisme yang berfokus pada kegiatan advokasi sebagai bagian kontrol dan pengawasan kita terhadap pemerintah,” ucapnya.

Akhir Ngobrol Kebijakan, Christina menyampaikan bahwa RUU penyiaran perlu ditinjau dan dipertimbangkan ulang terutama pada poin-poin yang membatasi kerja jurnalisme investigatif, termasuk poin-poin yang menampilkan penayangan kekerasan.

Dewi pun merekomendasikan agar RUU ini sebaiknya memfokuskan frekuensi publik yang edukatif terkait kebijakan publik. Hal tersebut misalnya dapat dilakukan dengan mengatur waktu tayangnya. ***(Guffe)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *