Jakarta, JNcom – Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Prof . Dr.Semiarto Aji Purwanto menilai bahwa jika menelaah setelah 25 tahun berjalannya reformasi, ada perbedaan pandangan dan cara memahami Pancasila antara generasi muda dengan generasi lintas jaman. Berdasarkan hasil riset, terdapat kesenjangan pemahaman Pancasila sebagai sebuah teks dengan implementasi dalam kehidupan sehari-hari.
“Hasil riset kami memang ada kesejangan bahwa anak-anak ini dalam praktek sehari-hari, kita lihat implementasinya jauh berbeda dengan Pancasila. Kalau saya boleh mengasumsikan, dulu kita selalu punya banyak contoh-contoh, namun sekarang kami melihatnya generasi muda 25 tahun kebawah tidak punya cara seperti itu,” ujarnya.
Ditengah kempungan teknologi digital, tambahnya, jika kemudian ditarik pertanyaan apakah kalian sudah mengamalkan Pancasila? mereka langsung mikir apa yang sudah saya amalkan sebenarnya di dalam praktek sehari-hari. “Nah ini barangkali kesenjangan yang terjadi sehingga masuk ke dalam dunia kedewasaan itu menjadi sangat sulit,” tambahnya.
Sementara itu, Sekjend Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-POLRI, Letjen Purn. Bambang Darmono mengatakan bahwa untuk melakukan evaluasi terhadap tim implementasi Pancasila pasca reformasi, harus melihat pada kehidupan masyarakat bangsa dan negara baik dari perspektif Pancasila sebagai falsafah ideologi bangsa, sebagai ideologi negara maupun sebagai dasar negara. Menurutnya, dalam konteks falsafah hidup bangsa, Pancasila adalah nilai-nilai hidup yang diyakini sebagai kebenaran menurut masyarakat Indonesia yang hidup lestari serta menjadi rujukan kehidupan masyarakat bangsa dan negara.
Dalam dimensi praksis akan terwujud etika masyarakat Indonesia. Sementara dalam konteks ideologi negara, Pancasila adalah ide atau gagasan berupa nilai dan rumah kultural yang menjadi landasan keyakinan terhadap kebenaran dan cara berpikir untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara Indonesia.
“Dalam dimensi praksis akan berwujud sebagai karakter yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lainnya, dalam konteks dasar negara Pancasila adalah pokok-pokok kaidah negara yang fundamental yang menjadi sumber dari segala sumber untuk menjadi Indonesia sehingga undang-undang dasar sebagai pundak dapat dibentuk oleh para pembentuknya harus terdaftar dan merujuk pada Pancasila sebagai dasar negara,” jelasnya.
Apabila pundakannya tidak dijiwai oleh Pancasila, kita Bambang, maka dapat dipastikan undang-undang turunannya akan semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Menyadari bahwa pembukaan undang-undang dasar 1945 yang di dalamnya menyirat jelas tentang ide dasar negara Indonesia adalah negara berdasarkan Pancasila maka disaat bangsa Indonesia akan melakukan perubahan undang-undang Dasar 1945.
Mereka membuat kesepakatan yang disebut dengan kesepakatan nasional yang berisi tidak merubah pembukaan undang-undang dasar 1945, menghapus penjelasan undang-undang dasar 1945, perubahan dilaksanakan dengan cara addendum, memperbaiki sistem presidensial dan mempertahankan bentuk negara kesatuan republik Indonesia.
Terkait dengan kesepakatan tidak boleh merubah pembukaan undang-undang dasar 1945 memang benar secara tekstual pembukaan undang-undang dasar 1945 tidak diubah sejak di undangkannya, undang-undang 2002 melalui undang-undang dasar 2002 pada 10 Agustus 2002 melalui sebuah dokumen ketetapan MPR. Akan tetapi hasil amandemen undang-undang dasar 45 yang dilakukan hingga empat kali nyata-nyata tingkat dan mendorong nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah ideologi gagasan negara.
“Dalam catatan kami, setidaknya perubahan tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut, pertama benar pancasila dinyatakan sebagai syarat dalam semua cabang kehidupan tetapi fakta yang mewujud dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara yang di di drive oleh UUD 2002 bergeser ke awal kehidupan neolib (neoliberal) maknanya rujukan kita bukan lagi Pancasila tetapi neolibe,” paparnya.
Kedua, lanjutnya, menurut sistem politik Pancasila yang kita anut adalah sistem politik demokrasi perwakilan tetapi berubah menjadi demokrasi langsung perubahan ini membawa konsekuensi menghalalkan politik uang yang menyuburkan sifat (Holotif) serta cara-cara pembusukan yang pada akhirnya melemahkan persatuan bangsa dan negara.
Ketiga, kedalaman rakyat telah berubah menjadi kedaulatan partai menjadi kedaulatan ketua umum partai politik. Mereka yang ada di Senayan adalah parung wacana, bilangnya GBHN yang dibuat oleh MPR dan berubah menjadi RPJMN berdasarkan program presiden terpilih bermakna bahwa agar pembangunan bangsa hanya ditentukan oleh presiden terpilih dan partai pengusungnya bukan ditentukan oleh rakyat. Keempat paham kekeluargaan secara perlahan telah bergeser ke paham individual.
“Dalam pemahaman Saya dari perspektif ortologis, falsafah Pancasila merupakan dasar pemikiran terhadap negara bangsa masyarakat dan manusia Indonesia, makna terpenting dalam kaitan ini adalah manusia Indonesia adalah bagian dari keseluruhan masyarakat bangsa dan negara. Paham inilah yang mulai bergeser dari kehidupan sejalan dengan paham Kosmopolitanisme yaitu gagasan bahwa manusia adalah anggota dari komunitas yang sama,” pungkasnya. (Red)