Jakarta, JNcom – Untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional selain sarana dan prasarana yang memadai juga anggaran yang cukup. Sebelumnya sudah ditentukan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN namun apakah sudah benar-benar dilaksanakan atau aturan/statemen saja.Realitanya anggaran untuk pendidikan masih jauh dibandingkan negara tetangga Malaysia, Philipina dan Singapura.
Menurut Prof Sumaryoto sebenarnya sangat tergantung political will dari pemerintah, apakah serius menangani pendidikan atau sekedar tambal sulam/berganti-ganti peraturan/slogan-slogan ini yang terjadi di Indonesia memang seperti itu.
“Seperti Merdeka Belajar dari awal sudah ada artinya program Link and Match antara perguruan tinggi dengan dunia usaha/industri, kenapa sekarang baru diungkap dengan slogan-slogan Kampus Merdeka/Merdeka Belajar,” ujar Prof Sumaryoto Rektor Unindra kepada JURNALNUSANTARA.COM, di Jakarta, Jumat (27/10/2023).
Prof Sumaryoto mengatakan kalau dilihat dari sisi kebebasan memilih program study kadang-kadang tidak masuk akal seperti berbakat/memilih sejarah tapi memilih yang lain karena setiap manusia punya kemampuan terbatas, tidak ada manusia super.Jadi memilih program study harus sesuai dengan kemampuan dan bakat harusnya mengukur dan introspeksi diri dalam mengambil program study.Yang terjadi selama ini banyak mahasiswa memilih program study tidak sesuai dengan bakatnya.
“Pemerintah hanya sibuk dengan peraturan/regulasi ujungnya pendidikan kita bisa jalan ditempat,” imbuhnya.
Prof Sumaryoto juga menyinggung tentang era digitalisasi sejak 1960 sebenarnya kita sudah tertinggal jauh dengan negara lain karena pada revolusi industri/ era komputer 3.0, pada waktu itu pendidikan di Indonesia belum apa-apa baru pada tahun 1980-1990 memasuki era komputer. Seperti sejarah revolusi industri mulai dari 1.0 mesin uap, 2.0 listrik dan 3.0 komputer.
“Makanya ketika masuk 4.0 kita tertinggal jauh justru negara maju mulai berpikir bahwa seperti pembelajaran hybrid, semua serba hybrid/ kombinasi digital dan non digital itu suatu keniscayaan karena manusia tidak bisa digantikan semua dengan mesin/robot/komputer.
“Seperti kecerdasan buatan ( artificial intelligent ) itu juga tidak sehebat kemampuan otak manusia, terbatas hanya seperti alur logika cara kerjanya. Namun kalau berkaitan dengan emosi, seni tidak bisa. Semisal dengan basic logika, sehingga bisa diprogram. Artinya manusia tidak tergantikan, sebagai contoh, kemampuan leadership, lebih dominan sesuai dengan bakat yang dimiliki. Jika terkait dengan teori semuanya bisa dipelajari oleh semua orang, sementara bakat tidak bisa, karena terpulang pada karakter masing-masing orang,” terangnya.
Lebih lanjut Prof Sumaryoto menyatakan kalau ingin mningkatkan kualitas pendidikan, daya saing dan mengejar ketertinggalan tidak mungkin tanpa dana yang cukup. Tapi anehnya, banyak dana yang digunakan untuk hal-hal yang bukan prioritas, seperti proyek kereta api cepat Karena kalau dilihat dari kondisi yang ada seperti jalan tol dan kereta api yang sudah memadai sebenarnya sudah cukup.
“Sebaliknya dana penelitian dipangkas padahal riset itu penting dalam pendidikan sampai 4-9 persen. Ini sangat ekstrim, tidak ada kemajuan teknologi tanpa riset semestinya kita malu dengan Vietnam karena lombatan industri begitu cepat,” tandasnya. (s handoko)