Jakarta, JNcom – Polemik pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-XXI/ 2023 pada tanggal 15 Agustus 2023 tentang larangan total kampanye di tempat ibadah, namun membolehkan kampanye di sekolah dan kampus meski dengan catatan.
Diketahui MK mengabulkan gugatan terhadap UU No 7 Tahun 2017 khususnya Pasal 280 ayat (1) huruf h. Jadinya, pihak yang berkampanye dilarang memakai fasilitas pendidikan kecuali mendapat izin dari penanggung jawab tempat pendidikan dan hadir tanpa atribut kampanye.
Menurut Prof Sumaryoto dengan memperhatikan pasal 280 memang terpulang pada otoritas kampus.Artinya untuk lembaga Unindra karena dibawah pembinaan Kementerian Dikbudristek, sepanjang ada perintah untuk membolehkan tentu akan tunduk pada peraturan begitu konsekuensinya karena perintah menteri, tetapi bila tidak ada perintahnya dan dikembalikan ke otoritas kampus prinsipnya tidak akan membolehkan karena saya ingin kampus ini steril dari politik praktis.
“Kalau politik sebagai pembelajaran sebagai mata kuliah dan kajian silahkan saja. Tapi kalau kampanye sudah politik praktis.Sehingga kekhawatiran akan terkotak-kotak/polarisasi nantinya akan muncul permasalahan karena beda pandangan terhadap salah satu capres tertentu. Ini yang saya tidak mau,” ujar Prof Sumaryoto Rektor UNINDRA kepada JURNALNUSANTARA.COM, di Jakarta, Sabtu (26/08/2023).
Dikatakan Prof Sumaryoto sebetulnya Pasal 280 sangat fleksibel meskipun otoritasnya diserahkan kekampus. Namun kampus harus membuat peraturan/kebijakan intinya tidak ada keberpihakan.
“Unindra keberatan dengan adanya politik praktis dikampus apalagi Unindra juga melihat kondisi dan tempat/ lapangan kurang luas sehingga tidak memadai kecuali ada intruksi itupun dengan pertimbangan kemudian bagaimana resiko dan dampak lebih jauhnya seperti nanti ada perang dingin, perpecahan dan saling hujat.Ini yang tidak diinginkan karena sudah praktis, muncul saling dukung mendukung calon tertentu, walaupun tanpa atribut partai. Hal inilah yang akan mengganggu proses pembelajaran,” terangnya.
Imbasnya tambah Prof Sumaryoto akan sangat panjang terlebih jika ada dua putaran sampai tahun depan sehingga kampus akan terganggu sekali.
“Apalagi mahasiswa lebih gampang dipengaruhi karena belum memiliki modal dan kematangan dalam berpolitik sehingga sangat rawan kecuali anggota dewan sudah berpengalaman dan senior,” imbuhnya.
Lebih jauh Prof Sumaryoto menyatakan tetap akan dipertimbangkan plus minusnya kalau lebih banyak modaratnya tentu keberatan karena melihat dampak negatifnya lebih jauh meskipun itu intruksi.
Alhasil pendidikan politik bukan politik praktis tetapi melalui webiner, seminar yang sifatnya umum bukan saat kampanye dan tidak ditahun politik.
“Kampanye itu mengajak untuk memilih/mendulang suara sehingga jika dilakukan di kampus sangat-sangat tidak kondusif,” tandasnya. (s Handoko)