Metropolitan

Kenaikan Tarif TransJakarta Dinilai Belum Tepat Waktu

×

Kenaikan Tarif TransJakarta Dinilai Belum Tepat Waktu

Share this article

Jakarta, JNcom – Koalisi Warga untuk Transportasi Jakarta (KAWAT Jakarta) menilai bahwa rencana kenaikan tarif TransJakarta (TJ) oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan DPRD DKI tidak tepat dilakukan saat ini. Hal tersebut dikatakan Tubagus Haryo Karbyanto, Koordinator KAWAT Jakarta melalui siaran pers yang diterima JurnalNusantara.com, Jumat (31/10/2025), di Jakarta.

Menurutnya, sebelum menambah beban masyarakat, pemerintah daerah dan manajemen TJ perlu terlebih dahulu membenahi tata kelola keuangan, keselamatan armada, serta menggali pendapatan non-tiket (non-farebox revenue) sebagaimana praktik terbaik transportasi publik di kota-kota besar dunia.

Dalam lima tahun terakhir, kata Tubagus, PT Transportasi Jakarta menjadi salah satu penerima subsidi terbesar dari APBD DKI. Tercatat tahun 2021, PSO sebesar Rp3,5 triliun, Tahun 2022 sebesar Rp3,8 triliun, tahun 2023 sebanyak Rp3,6 triliun (setelah pemangkasan Rp336 miliar), tahun 2024: Rp3,9 triliun, dan tahun 2025: usulan tambahan Rp300–400 miliar (sumber: Komisi B DPRD DKI & Dinas Perhubungan DKI, 2024–2025).

Menurut Pemprov DKI, subsidi per pelanggan TJ mencapai Rp9.700–Rp11.500 per perjalanan, dengan nilai keekonomian tiket sekitar Rp13.000–Rp15.000, sementara tarif publik masih Rp3.500.

Tabel 1. Subsidi (PSO) dan Estimasi Jumlah Penumpang TransJakarta 2021–2025

Namun, laporan rinci penggunaan dana PSO—termasuk pembagian per koridor, per jenis layanan, dan performa operator—belum pernah dipublikasikan secara terbuka. Laporan tahunan di situs PPID TJ hanya memuat ikhtisar keuangan tanpa rincian indikator kinerja seperti ketepatan waktu, beban penumpang, atau tingkat kecelakaan.

Selain soal keuangan, kata Tubagus, mutu layanan TransJakarta masih menjadi catatan publik. Sistem pembayaran juga bermasalah
Sejak 2022 hingga 2024, keluhan double tap (saldo kartu e-money terpotong dua kali) terus terjadi. Belum ada mekanisme auto-refund yang memulihkan kerugian pengguna secara otomatis.

“Keselamatan dan pemeliharaan armada
Insiden bus menabrak ruko di Pulogebang (19 September 2025) dan kebakaran puluhan bangkai bus di Rawa Buaya (10 Juni 2025) menandakan lemahnya pengawasan dan SOP perawatan,” ungkapnya.

Ia juga menyoroti soal Audit independen terhadap armada dan sistem keselamatan yang seharusnya dilakukan sebelum rencana kenaikan tarif. Selain itu, kasus pelecehan seksual di halte dan bus masih terjadi.

“Berdasarkan Data publik dan laporan internal menunjukkan sedikitnya 12 kasus pelecehan pada 2022 dan meningkat menjadi lebih dari 40 kasus sepanjang 2023–2024. Upaya edukasi telah dilakukan, tetapi laporan penanganan belum disampaikan secara rutin dan transparan,” ujarnya.

KAWAT Jakarta menegaskan, menaikkan tarif tanpa pembenahan menyeluruh justru akan menurunkan kepercayaan publik. Menurut Tubagus, kenaikan tarif semestinya merupakan opsi terakhir setelah efisiensi operasional dan integrasi rute dilakukan, Masalah teknis dan keselamatan diatasi, Kinerja layanan diukur secara publik, dan Pendapatan non-tiket berhasil digarap secara signifikan.

Hingga kini, tambah Tubagus, kontribusi pendapatan non-tiket TJ belum pernah dipublikasikan. Padahal, di kota besar seperti Singapura, Bangkok, dan Kuala Lumpur, operator transportasi publik memperoleh 20–30% pendapatan dari sumber selain tiket, seperti Iklan pada bus dan halte, Penyewaan ruang komersial di titik transit, Kerja sama merek dan pengelolaan data transportasi, Penggunaan aset idle untuk kegiatan ekonomi kreatif atau periklanan.

“TransJakarta belum menunjukkan strategi yang jelas untuk mengoptimalkan peluang tersebut. KAWAT Jakarta menilai bahwa sebelum membebankan kenaikan tarif kepada publik, manajemen harus membuktikan kemampuannya meningkatkan pendapatan dan efisiensi internal,” kata Tubagus.

Ia membandingkan kebijakan transportasi di sejumlah negara tetangga diantaranya Singapura hanya menaikkan tarif setelah Public Transport Council menilai kinerja operator dan efisiensi subsidi. Pemerintah tetap memberikan voucher bagi masyarakat berpendapatan rendah.

Kemudian Kuala Lumpur memilih subsidi My50 Pass untuk perjalanan tak terbatas seharga RM50, tanpa menaikkan tarif harian.

Selanjutnya, Bangkok menekan defisit dengan elektrifikasi armada dan perbaikan tata kelola, bukan dengan menaikkan tarif. Manila bahkan memberikan free ride sementara untuk menjaga daya beli warga selama masa transisi.

Menanggapi rencana kenaikan tersebut, KAWAT Jakarta merekomendasikan agar menunda kenaikan tarif hingga laporan PSO, performa, dan audit keselamatan dipublikasikan. Tingkatkan efisiensi dan sistem pembayaran sebelum membebani pengguna. Kembangkan sumber pendapatan non-tiket secara serius, dengan target minimal 10% dari total pendapatan dalam 2 tahun.

Berikutnya, Terapkan formula tarif berbasis kinerja (performance-based fare adjustment) yang dikaitkan langsung dengan mutu layanan dan kepuasan pengguna. Lakukan audit independen terhadap penggunaan PSO dan perawatan armada setiap tahun serta dipublikasikan melalui PPID.

“Masyarakat tidak menolak perbaikan layanan, tapi wajar menolak kenaikan tarif tanpa kejelasan arah perbaikan dan akuntabilitas subsidi. TransJakarta perlu menunjukkan keseriusan dalam menggali sumber pendapatan di luar tiket dan memperbaiki tata kelola sebelum menambah beban warga,”
pungkas Tubagus. (Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *