October 25, 2024

Jakarta, JNcom – Maraknya kasus perundungan/bullying di lingkungan satuan pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini sudah sangat mengkhawatirkan karena sudah menimbulkan korban jiwa. Seharusnya sekolah menjadi ekosistem yang nyaman dan aman bagi siswa. Perundungan masih dianggap sebuah tren dan menunjukkan eksistensi mereka.

Kehadiran Permendikbudristek Nomor 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP) pada Agustus 2023 belum maksimal dan implementasinya masih lemah hal ini akibat banyak sekolah belum memiliki sistem pengaduan dan pelaporan yang melindungi korban perundungan belum lagi guru menganggap bullying bukan tindak kekerasan dan bukan persoalan penting.

Menurut Prof Sumaryoto sebenarnya kalau dilihat dari segi kejadian/peristiwa bullying akibat lemahnya pengawasan di internal sekolah/kampus.

“Untuk di Unindra alhamdullilah sudah diintruksikan kepada pihak keamanan, program studi, organisasi mahasiswa/ormawa dan dilengkapi dengan satgas PPKS (Kekeran Seksual) untuk saling berkoordinasi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Saya berpikir kedepannya semua lembaga pendidikan Indonesia harus melengkapi aturan internal tentang perundungan/kekerasan seksual kemudian pengawasan dan pengendalian.

Sehingga dengan aturan tersebut menjadi acuan untuk pengawasan dan sanksi yang diberikan jika terjadi pelanggaran di lapangan seperti bullying dan kekerasan seksual serta bagaimana mencari jalan keluar/solusinya, karena pirantinya sudah ada. Namun apabila aturannya belum lengkap menjadi masalah jadi sulit mencari titik temu dan menerapkan sanksinya,” ujar Prof Sumaryoto Rektor Unindra kepada JURNALNUSANTARA.COM, di Jakarta, Sabtu (07/10/2023).

Dikatakan Prof Sumaryoto faktor era digitalisasi/ teknologi menjadi faktor utama anak-anak lebih mudah
mengakses internet untuk kepentingan science tapi hal negatif lebih mudah didapat seperti perkelahian antar kelompok, perundungan diawali dari medsos.

“Pasti orang tua siswa akan kesulitan mengawasi 24 jam anak-anaknya dalam menggunakan teknologi. Meskipun disekolah sudah terawasi tapi pada saat pulang dari sekolah dan dirumah tidak menjamin terawasi. Belum lagi keterbatasan kemampuan orang tua menggunakan teknologi/gaptek, belum lagi kesibukan mereka,” urainya.

Diera digital/global saat ini tambah Prof Sumaryoto menjadi sulit untuk memantau penggunaan IT mesti menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mengkaji lebih jauh dan mendalam terhadap efek negatif digital ini, paling tidak mengerem atau mengurangi terhadap tindakan kenakalan remaja ini.

“Harus ada sanksi yang konkrit terhadap pelanggaran-pelanggaran provider-provider medsos.Akibat digital saat ini anak-anak lebih mudah mengakses apa saja terbukti anak dibawah umur sudah banyak yang pacaran dan membuang waktu percuma,” tandasnya. (s handoko)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *