Jakarta, JNcom – Kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) 2024 yang dimulai 25 November hingga 10 Desember 2024 menyuarakan isu tentang kekerasan berbasis gender di dunia digital. Hadirnya Artificial Intelegence (AI) atau kecerdasan buatan sebagai teknologi baru berbasis digital menjadi tantangan baru ditengah kehidupan perempuan yang perlu disikapi dengan bijak.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sebagai lembaga negara yang independen untuk penegakan hak asasi manusia perempuan Indonesia, menjadi bagian dalam kampanye tersebut. Untuk mengetahui peran Komnas Perempuan di era teknologi baru berbasis digital tersebut, berikut ini petikan wawancara bersama Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat, Minggu (8/12/2024), di Jakarta.
Komnas Perempuan memandang kehadiran teknologi Artificial Intelligence (AI) seperti apa?
Setiap inovasi teknologi merupakan mata uang dengan dua sisi. Ada sisi positif dan bisa menjadi negatif. Tergantung manusia yang menggunakannya. Bukankah pisau dapat dimanfaatkan untuk mempermudah mengiris cabai dan bawang, tetapi juga dapat dipakai untuk melukai orang lain.
Kecerdasan buatan (AI), seturut tugas Komnas Perempuan dapat dimanfaatkan untuk inovasi terkait aplikasi pencegahan maupun mendukung korban kekerasan seksual. Inovasi CCTV Analytic oleh PT KAI Commuter merupakan pemanfaatan AI untuk mendeteksi wajah pelaku kekerasan terhadap perempuan dan pengguna yang masuk ke stasiun meskipun tertutup masker. KAI Commuter telah mengoperasikan sistem ini di seluruh stasiun commuter line di Jabodetabek dan Yogyakarta dan rencananya berlaku di seluruh stasiun kereta api di Tanah Air. PT KAI memiliki kebijakan daftar hitam (blacklist) untuk pelaku kekerasan terhadap perempuan dan CCTV Analytic merupakan inovasi pendukung.
Komnas Perempuan juga mencatat sejumlah aplikasi hasil inovasi kalangan warga sipil terdidik berupa perekam suara otomatis untuk memperkuat bukti kekerasan seksual. Akademisi juga mengembangkan learning machine untuk mendeteksi kekerasan terhadap perempuan, konten yang bias gender dan bias lainnya, dan ujaran kebencian (hate speech) di berbagai platform media sosial untuk kebutuhan akademik dan advokasi.
Yang jelas, kemajuan pesat teknologi digital dan AI perlu disambut namun juga diantisipasi dampak negatifnya, khususnya potensi-potensi pelanggengan atau penggandaan bias gender, diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Perlu memiliki kebijakan meminimalisir potensi dampak negative AI terhadap perempuan dan kelompok rentan di antaranya dengan pendidikan publik terkait literasi digital.
Bagaimana seharusnya menyikapi AI dalam kehidupan perempuan dan Rekomendasi apa yang diberikan oleh Komnas Perempuan untuk pengguna AI?
AI berpotensi untuk melanggengkan atau menggandakan bias gender dan dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang sangat merugikan perempuan, di antaranya kekerasan seksual berbasis elektronik. Di antaranya deep fake pornography yang sempat meresahkan para orang tua di sana karena banyak perempuan remaja yang menjadi korban.
Sebagai warganet, perempuan harus berhati-hati dalam hal menjaga privasi dan keamanan online atau media sosial di antaranya dengan memilih kata sandi kuat. Selain itu, dalam berinternet dan bermedsos perempuan perlu menggunakan prinsip saring dan sharing termasuk memilih diksi yang tidak bias. Tak semua hal-hal pribadi perlu diunggah di media sosial untuk mencegah pemanfaatan data pribadi oleh orang lain tanpa persetujuan untuk tujuan yang merugikan diri sendiri.
Algoritma merekam ekspresi perempuan melalui unggahan, interaksi komunikasi dan informasi di berbagai platform media sosial. Karena itu perempuan perlu berhati-hati dalam di media sosial. Di sisi lain, perempuan juga perlu aktif mencegah atau memutus keberulangan dengan melaporkan perilaku yang tak pantas ke pihak berwenang atau ke aplikasi platform medsos terkait untuk mencegah, melindungi orang lain dari ancaman serupa. Rajin-rajin menghapus spam, surel phising dan perlu mengecek informasi tentang diri anda di ruang digital.
Apakah UU ITE sudah mengakomodir upaya pencegahan tindakan kriminal akibat penggunaan AI?
UU Perlindungan Data Pribadi Pasal 66 menyatakan, “Setiap orang dilarang membuat data pribadi palsu atau memalsukan data pribadi dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Lalu, orang yang melanggar ketentuan tersebut dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp6 miliar”. UU PDP sudah mengintegrasikan pencegahan tindak kriminal berbasis AI khususnya kekerasan seksual berbasis elektronik.
Di sisi lain, UU ITE, KUHP dan UU Pornografi mengkriminalkan penggandaan, penyebaran atau transmisi pornografi.
Kolaborasi apa saja yang telah dilakukan oleh Komnas Perempuan pasca hadirnya teknologi AI dalam upaya melaksanakan fungsi pengawasan?
Komnas Perempuan mengadvokasi PT KAI agar mengintegrasikan pencegahan, penanganan dan pemulihan bagi perempuan korban kekerasan berbasis gender di lingkungan PT KAI. Infrastruktur transportasi publik yang dikelola PT KAI perlu menjadi ruang yang bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Komnas Perempuan juga mendorong Kementerian/Lembaga negara dan dinas-dinas terkait agar memperkuat fungsi CCTV di tempat-tempat tahanan untuk perlindungan dan mencegah terjadinya penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang terhadap para tahanan.
Harapan Komnas Perempuan seperti apa dan adakah rekomendasi untuk pemerintah baru ini?
Mengoptimalkan Rencana Aksi Nasional (RAN) Bisnis dan HAM dengan mengintegrasikan perspektif gender dan kelompok rentan bagi para pengelola platform media sosial dan platform digital lainnya agar selaras dengan Rekomendasi UNESCO dan Surat Edaran Menkominfo tentang Etika Kecerdasan Buatan perlu ditingkatkan menjadi regulasi yang lebih kuat dan mengikat para pihak terkait.
Pemulihan dalam arti luas. Dampak kekerasan seksual siber termasuk deepfake pornography meliputi kerugian psikologis; keterasingan sosial; kerugian ekonomi; mobilitas terbatas; dan sensor diri, yaitu hilangnya kepercayaan terhadap keamanan menggunakan teknologi digital. Karena itu, pemerintah harus memenuhi hak korban atas pemulihan komprehensif.
Peraturan turunan UU TPKS perlu mengintegrasikan aspek hak-hak korban kekerasan seksual virtual sebagai dampak AI. Di sisi lain, Indonesia sudah memiliki perundang-undangan yang mengatur KBG dan kekerasan seksual yang difasilitasi AI yakni UU ITE, KUHP, UU Pornografi, UU Perlindungan Data Pribadi dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Memperluas dan mempermudah akses korban KSBE dan KSBO pada layanan pengaduan di kepolisian mulai dari jenjang Polres.
Memperkuat kapasitas aparat penagak hukum terkait KSBE, KSBG dan KBG yang difasilitasi AI dan pemahaman tentang UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan undang-undang lainnya.
Menkominfo memperkuat infrastruktur AI untuk pelaksanaan the right to be forgotten sebagai bagian pemulihan korban.
Memperkuat koordinasi organisasi layanan pengaduan, aparat penegak hukum, Kementerian/Lembaga negara terkait.
Sosialisasi di ruang-ruang strategis. (Red/Zah)