October 16, 2024

Jakarta, JNcom – Dalam upaya untuk memperluas pemahaman serta mendukung Prioritas Nasional Pemerintah Indonesia dalam implementasi Program Keadilan Restoratif, Kantor PBB Untuk Urusan Narkoba dan Kejahatan (United Nations Office on Drugs and Crime/UNODC) Kantor Program di Indonesia, dengan didukung oleh Bureau of International Narcotics and Law Enforcement Affairs (INL), Department of States of the United States of America, dan bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menggelar diskusi publik bertema “Menakar Pemaknaan dan Penerapan Program Keadilan Restoratif”, sekaligus meluncurkan “Buku Pegangan Program Keadilan Restoratif Edisi Kedua, Versi Bahasa Indonesia”, Rabu (27/3/2024) di Museum Bank Indonesia, Jakarta Barat.

Keadilan restoratif (Restorative justice) merupakan model pendekatan dalam penyelesaian perkara pidana yang menekankan pada pemberdayaan dan pemulihan bagi semua pihak yang terlibat, baik korban rnaupun pelaku, serta orang-orang di sekitarnya yang ikut terdampak. Prinsip keadilan Restorative mengedepankan pemahaman dan tanggung jawab pelaku atas akibat tindakannya terhadap Korban, alih-alih hanya fokus pada hukuman penjara.

Penerapan keadilan restoratif bertujuan memenuhi kebutuhan korban, termasuk pemulihannya, sekaligus mengintegrasikan kembali pelaku ke Masyarakat melalui proses mediasi yang netral. Cara ini dianggap efektif untuk mencegah eskalasi konflik lebih jauh antara korban, pelaku dan masyarakat yang terdampak serta menekan biaya hukum.

Sebagai salah satu prioritas pemerintah dalam reformasi sistem peradilan pidana, Pemerintah Indonesia telah melaksanakan berbagai restora untuk melaksakan program keadilan lestorative, diantaranya terdapat dua landasan hukum yang membentuk mekanisme penyelesaian perkara berdasarkan keadilan lestorative yang berlaku pada tahap praadjudikasi (sebelum persidangan). Pertama adalah Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perja Nomor 15/2020), kedua adalah Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perpol Nomor 8/2021).

Namun, perlu diperhatikan bahwa dasar hukum keadilan 1restoratif masih perlu dibenahi agar lebih efektif dan adil dalam praktiknya, serta lebih tersinergi antar lembaga penegak hukum. Diskusi 1estor ini bertujuan untuk menelaah kembali mengenai penerapan prinsip-prinsip keadilan restoratif dalam berbagai aspek pemahaman dan penerapannya dalam sistem peradilan pidana Indonesia.

“Saya menyampaikan apresiasi kepada UNODC atas perhatian dan upayanya bagaimana membangun sistem penegakan hukum yang lebih baik di Indonesia ini. Saya yakin dengan adanya restorasi justice, tidak ada lagi kasus-kasus seperti halnya kasus yang menimpa nenek Minah, karena inti dari penegakan hukum bukan bagaimana memenjarakan orang tetapi bagaimana menata keadilan yang sifatnya substantif agar lebih baik bagi korban, pelaku dan masyarakat,” ujar Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, S.H., M.Hum, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan (Dirjen PP) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).

Dirjen PP, kata Asep, ingin membuat sebuah parameter atau standar yang sama tentang restoratif justice (RJ). Nantinya, perkara-perkara apa saja yang layak bisa diterapkan Restoratif Justice atau di-RJ-kan. “Kami ingin membuat sebuah standar yang sama dan paradigma yang sama tentang perkara-perkara apa saja yang bisa di-RJ-kan. Dengan memiliki standar yang sama, minimal kita bisa menyelesaikan persoalan, sehingga dibutuhkan suatu komitmen,” ungkap mantan Kajati Jabar.

Sementara itu, Senior Strategist Pusat Kajian dan Advokasi (PUSKAPA), Putri Kusuma Ananda menjelaskan bahwa poin-poin yang perlu difahami oleh publik yaitu Restorative Justice memastikan pertanggungjawaban pelaku secara bermakna, artinya bukan untuk meringankan hukuman. Kedua, RJ dapat diaplikasikan pada saat pra hingga pos ajudikasi, bukan sebagai kartu bebas penjara.

Ketiga, lanjut Putri, RJ memberikan ruang bagi korban untuk menyampaikan pendapat dan bagaimana merespon perbuatan pelaku, bukan untuk berteman dengan pelaku. Keempat, RJ berorientasi pada kebutuhan korban, bukan ekslusif untuk kebutuhan pelaku. Kelima, RJ dapat diterapkan pada berbagai kasus namun dengan kapasitas penyelenggara yang memadai, tidak hanya untuk kasus ringan saja.

“Lima poin ini harus terus menerus diingatkan kepada semua pihak tentang konsep keadilan restoratif tersebut. Kita perlu melakukan uji coba di beberapa wilayah dalam penerapan keadilan restoratif dan dibutuhkan ruang yang lebih luas untuk mencapai keadilan restoratif,” imbuhnya.

Ditempat yang sama, National Programme Coordinator for Criminal Justice, UNODC Indonesia, Rabby Pramudatana menuturkan bahwa pembahasan pertama kali di PBB soal Restorative Justice terjadi di tahun 2000.

“Selama memperkenalkan konsep baru di beberapa negara, para pelaku yang sudah familiar dengan sistem yang ada saat ini, menganggap konsep baru ini sebagai sebuah ancaman. Namun pada prinsipnya, konsep yang baru ini tidak menggantikan konsep yang sudah ada, tetapi ada jalur-jalur yang bisa ditempuh secara proporsional,” pungkasnya. (red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *