Jakarta, JNcom – Sidang lanjutan perkara No.59/PUU-XXI/2023 terkait dengan uji materiil terhadap Undang-undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini, Senin (11/9/2023), mendengarkan keterangan dari 2 orang saksi yaitu dari Serikat Pekerja Bumi Putera dan nasabah Wanaartha.
Ketua Tim Kuasa Hukum Pemohon, Muhammad Rullyandi, S.H.,M.H menjelaskan bahwa saksi pertama telah mengutarakan kepada Hakim tindakan-tindakan pekerja yang memperjuangkan haknya yang selama ini difahami adanya kondisi keuangan yang belum stabil di AJB, sehingga dilakukan langkah-langkah oleh serikat pekerja kepada OJK untuk dilakukan tindakan-tindakan yang telah memenuhi syarat Undang-undang. Sedangkan saksi kedua menerangkan inti permasalahan di Wanaartha dan meminta untuk mengamankan aset-aset supaya bisa menyelesaikan kewajibannya kepada nasabah yang belum dibayar klaimnya.
“Berdasarkan keterangan saksi tersebut, tindakan yang telah memenuhi syarat ternyata belum dilaksanakan, sehingga mengambil langkah melapor ke kepolisian. Namun karena menjadi kewenangan penyidikan OJK sehingga perkara tersebut tidak bisa diproses di kepolisian,” jelas Rulliandi.
Salah seorang nasabah asuransi Wanaartha yang juga menjadi saksi dalam persidangan, Johanes Buntoro Fistanio mengaku telah meminta OJK untuk melakukan penyidikan dan mengamankan asetnya. “Seharusnya OJK melakukan pencegahan agar tidak membawa lari uang kami,” ujar Johanes.
Menanggapi kasus tersebut, Ketua Yayasan Masyarakat Bersama TNI Polri (Yayasan Mabes TNI Polri), Jayanu menilai adanya UU PPSK mengakibatkan Polri tidak lagi bisa menyidik, sementara masyarakat tidak tahu kondisi peraturan ini.
“Kita khawatir ke depan banyak kasus keuangan yang tidak bisa ditangani OJK. Oleh karena itu kami minta marwah penyidikan dikembalikan ke Polri, jangan sampai ada kepentingan kelompok tertentu terkait dengan tugas penyidikan ini,” ujar Jayanu.
Sementara itu, Ketua Umum Gerakan Rakyat Peduli Bangsa (GPRB), Oscar Pendong menilai OJK mengebiri perangkat hukum yang lain karena peraturan saat ini tidak bisa menjadi referensi bagi korban-korban yang sudah terdzolimi.
“Sebagai aktivis rakyat, kami akan mengawal terus agar MK benar-benar mau mendengarkan aspirasi para nasabah. Kami minta ke perangkat hukum, gunakanlah hati nurani karena permasalahan yang ada di Indonesia sangat kompleks dan jarang diselesaikan dengan baik,” pungkasnya. (Red)