October 16, 2024

Jakarta, JNcom – Menjelang pendaftaran calon presiden dan wakil presiden pada bulan ini, iklim hukum ketatanegaraan tak luput dari tekanan dinamika politik yang berkembang dalam menghadapi pendaftaran pasangan calon. Bagaimana tidak, pusaran politik hari ini disandarkan pada Mahkamah Konstitusi dikarenakan adanya permohonan partai PSI dan beberapa pemohon lainnya yang meminta syarat capres dan cawapres dirubah baik terkait usia maupun penambahan “atau pernah berpengalaman menjadi kepala daerah”.

“Hal tersebut sangat terlihat bahwa kepentingan tersebut diarahkan kepada anak sulung Presiden Joko Widodo yaitu Walikota Solo Gibran Rakabuming yang posisinya terdesain sangat terang dari sisi pemohon PSI yang dipimpin oleh anak ragil (paling muda) yaitu Mas Kaesang Pangarep, sedangkan Ketua Mahkamah Konstitusi Hakim Anwar Usman adalah adik ipar presiden yang sekaligus paman dari mas Gibran dan mas kasang. Maka lengkaplah desain dinasti yang terjadi saat ini,” ujar Direktur PRESISI (Penstudi Reformasi dan Anti Korupsi), Dr. Demas Brian Wicaksono. S.H,M.H kepada awak media, Jumat (13/10/2023).

Demas menambahkan, sebenarnya objek perkara yang dimohonkan pada pasal 169 undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum terkait syarat calon presiden dan wakil presiden bukanlah persoalan konstitusional, karena konstitusi telah jelas mengatur pada pasal 6 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan: syarat mejadi presiden adalah warga negara Indonesia, sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Terlebih, kata Demas, jika dilihat pada pasal 6 ayat (2) UUD 1945 secara tegas mengatakan: Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Berdasarkan perintah konstitusi pada pasal 6 ayat (2) UUD 1945 jelas bahwa terkait syarat lain yang belum diatur oleh UUD harus diatur oleh Undang-undang yang artinya hal tersebut menjadi hak dan kewenangan DPR bersama Presiden untuk menyepakati syarat calon presiden dan wakil presiden, bukan kewenangan Mahkamah konstitusi karena bukan persoalan konstitusional.

Memahami Bahasa hukum pada aturan tersebut, lanjut Demas, sebenarnya sangatlah mudah dan tidak hanya professor hukum, mahasiswa S1 hukum semester 1 (satu) saja sangat mungkin paham dengan maksud pasal 6 UUD tersebut.

“Menjadi aneh ketika hakim mahkamah konstitusi tidak paham dan malah menerima permohonan receh seperti ini sehingga membuat perkara menjadi berlarut-larut. Sepertinya perlu dipertanyakan kemampuan analisa hukum para hakim Mahkamah Konstitusi yang senang membuat perkara murahan ini menjadi panggung eksistensi mereka,” ungkap Demas.

Menurut Demas, apabila nantinya ternyata Mahkamah Konstitusi menerima permohonan syarat calon presiden dan wakil presiden boleh berusia kurang dari 40 tahun dengan syarat berpengalaman/ pernah menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah, maka sangat jelas kepentingan yang mulia Ketua Mahkamah Konstitusi kepada kakak ipar yaitu presiden Joko Widodo.

“Namun hal ini belum tentu juga presiden Joko Widodo senang dan merestui putranya Walikota Solo mas Gibran karena ancaman isu politik dinasti dan hubungan baik dengan partai politik PDIP, karena partai tersebut merupakan partai besar yang teruji ikut berperan bersama mahasiswa menjatuhkan orde baru yang berkuasa selama 32 tahun, dan 10 tahun menjadi oposisi pemerintahan presiden SBY yang tidak baik-baik saja secara persoalan hukum mulai kenaikan BBM, kasus korupsi Bank Century sampai korupsi E-KTP di internal partai pemerintah saat itu yang menyeret ketua dan pengurus lainya di partai Demokrat masuk penjara, lalu saat ini juga teruji sebagai partai pemerintah selama 10 tahun,” jelasnya.

Hal tersebut, kata Demas, tidak bisa dianggap sederhana oleh presiden Joko Widodo yang diantarkan oleh PDIP mulai dari walikota solo lalu gubernur Jakarta sampai menjadi presiden saat ini. Maka berdasarkan analisa hukum dan history politik tersebut perlu dipikirkan kembali oleh Mahkamah Konstitusi sebelum memutus perkara tersebut agar kemudian tidak menjadikan putusan tersebut sebuah jebakan mematikan bagi presiden Joko Widodo yang dapat menurunkan elektabilitas presiden dan yang terpenting Mahkamah Konstitusi tidak mengkhianati konstitusi pasal 6 ayat (2) UUD 1945 yang mengamanatkan syarat calon presiden dan wakil presiden menjadi kewenangan DPR dan Presiden, bukan Mahkamah Konstitusi.

“Sudah selayaknya Mahkamah Konstitusi jangan terlalu sombong dan percaya diri merasa persoalan itu menjadi kewenangannya untuk diterima dalam putusan,” pungkas Demas. (Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *