December 6, 2024

Jakarta, JNcom – Dalam rangka memperingati Hari Bakti Dokter Indonesia (HBDI) ke-115, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) cabang Jakarta Pusat melaksanakan kegiatan donor darah, santunan dan Seminar Awam di Gedung Merdeka IDI Jakpus, Jl. Salemba Tengah No. 12 D-E, Kelurahan Paseban, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, Kamis (1/6/2023).

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jakarta Pusat, dr. Haznim Fadhli, Sp.S dalam sambutannya mengatakan dalam seminar tersebut akan dijelaskan terkait peraturan donor organ tubuh yang sedang dibahas di DPR, yang belum banyak diketahui masyarakat. Dalam UU tersebut dibahas apakah organ orang yang sudah meninggal boleh diambil atau tidak.

“UU tersebut masih menjadi perdebatan di DPR, salah satu alasannya adalah dibutuhkan donor yang banyak untuk orang yang akan melakukan transplantasi. Persoalan lainnya adalah terkait persetujuan semasa hidup, soal anggaran kesehatan yang akan dihapus,” ujar Haznim.

Acara dimulai dengan Seminar Awam bertemakan “Hak Kesehatan Untuk Rakyat Dalam Tinjauan RUU Kesehatan Omnibus Law” dimulai pada pukul 8.30 Wib dimoderatori dr. M. Baharuddin, Sp.OG, MARS yang menghadirkan narasumber Dra. Adriyanti Rafly yang membahas tentang “Dampak RUU Kesehatan Omnibus Law Terhadap Tenaga Kesehatan Yang Melayani Rakyat) dan, M. Joni, S.H, M.H membahas terkait “Tinjauan Hukum: Dampak RUU Kesehatan Omnibus Law Terhadap Hak Rakyat Menurut Amanat Konstitusi UUD 1945 Dalam Kehidupan Sehari-Hari). Kemudian acara dilanjutkan dengan kegiatan Donor Darah oleh Palang Merah Indonesia DKI Jakarta diikuti sekitar 100 pedonor.

Dalam paparannya, Dra. Adriyanti Rafly menjelaskan bahwa kehadiran UU yang tengah dibahas di DPR banyak hak-hak rakyat yang kemungkinan hilang, salah satunya adalah kehadiran dokter asing yang belum dikenal dan terukur.

“Apakah bapak dan ibu mau diperiksa oleh dokter yang belum dikenal dan terukur? Tentunya saya berterima kasih dengan kegiatan ini karena masyarakat bisa tahu apa yang akan terjadi ke depannya,” ungkapnya.

“Selain itu apakah para dokter asing tersebut juga punya kultur, budaya dan etika yang sama seperti dokter kita. Perbedaan kultur, budaya, dan etika itu jelas sangat penting dalam pelayanan kesehatan selain kemampuan, pengalaman atau track record,” imbuh Adriyanti menambahkan.

Sementara itu, praktisi hukum M. Joni SH, MH mengatakan, kehadiran, peran dan attitude seorang dokter menjadi pelekat dalam kehidupan masyarakat.

“Kita punya hutang besar kepada dokter yang terasa perannya terutama saat pandemi Covid-19. Saya sangat marah ketika orang yang berjasa ini dibuang dengan adanya peraturan baru ini,” tegasnya.

Menurutnya pembahasan RUU Kesehatan Omnibuslaw yang tengah dibahas tentunya tidak ingin diisi oleh orang luar. Dalam RUU ini, ada 5 organisasi profesi tenaga kesehatan akan dihapus, sehingga masyarakat perlu mendukung organisasi profesi tenaga kesehatan tersebut.

Hal penting lainnya adalah terkait pasal 420 yang menyatakan APBN dan APBD untuk urusan kesehatan yang sebelumnya 10% akan dihapus.

“RUU Kesehatan ini tidak akan menentukan berapa alokasi APBN/APBD untuk kesehatan. Pasal 420 menghapuskan APBN untuk kesehatan,” ungkapnya.

Dalam bekerja, tambahnya, dokter harus menjaga pelayanan dengan standar dan izin untuk meningkatkan kapasitasnya. Sementara dalam Omnibuslaw ini mengatur Surat Tanda Registrasi (STR) seumur hidup sehingga akan membahayakan bagi turunnya derajat pelayanan kesehatan.

“STR ini seharusnya dinolkan dan dibiayai oleh negara karena dokter melaksanakan tugas negara sehingga harus dibiayai oleh negara. Jadi Omnibuslaw bukannya memperbaiki tetapi memberangus pelayanan kesehatan,” pungkasnya. (Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *